Liputan6.com, Jakarta - Oli mesin akan habis manfaatnya dalam kurun waktu tertentu, atau berdasarkan jarak tempuh. Semakin jauh jarak sebuah kendaraan, fungsi oli yang melapisi tiap-tiap komponen akan semakin menurun.
Namun demikian, hal ini berlaku dengan syarat-syarat tertentu. Dalam kondisi spesifik, tidak selamanya kendaraan yang sering berpergian jauh olinya harus lebih cepat diganti ketimbang kendaraan yang berpergian dalam jarak dekat.
"Bisa jadi kendaraan yang sering jalan jauh, mulus, olinya lebih tahan lama dibanding mereka yang cuma 20 kilometer tapi macet-macetan," ujar Shofwatuzzaki, B2C Lubricants Technical Manager PT Shell Indonesia di Jakarta, Selasa (10/5) kemarin.
Advertisement
Baca Juga
Apa pasal? Sebab menurut Zaki, kondisi macet, atau secara teknis disebut stop and go, adalah kondisi yang tidak baik bagi performa mesin.
"Kondisi stop and go adalah kondisi yang buruk. Pembakaran di mesin di kondisi kompresi rata-rata yang rendah," ujar Zaki. Kondisi ini, menurutnya, berpotensi menghasilkan apa yang disebut dengan "blow by gas" .
Zaki menjelaskan, blow by gas sederhananya adalah merembesnya gas yang mengandung bensin ke karter oli. "Olinya nanti terkontaminasi bahan bakar," terang Zaki.
Padahal jelas, keduanya berbeda peruntukkan. Zat-zat dalam oli pun tidak bisa bekerja maksimal dan bahkan lebih cepat rusak.
Kemudian, dibanding mobil, stop and go lebih riskan bagi motor. Sebab pendinginannya sangat tergantung pada angin. "Bisa buat mesinnya panas sekali," tutup Zaki.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Galih Laksono, pemilik G-speed Performance Parts, bengkel di Kebayoran Baru. Ia menyebut, kalau sering-sering bekerja dalam kondisi demikian, mesin kendaraan bisa mengalami "stres".
"Di saat macet, mesin akan 'ditekan' terus menerus. Tekanan ini menambah risiko keausan," terang Galih.