Sukses

Soal Limbah Baterai Mobil Listrik, Bagaimana Solusinya?

Limbah baterai kendaraan listrik berbahaya. Harus ada solusi tentang itu kalau proyek elektrifikasi benar-benar dijalankan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah saat ini tengah menggarap peraturan terkait mobil ramah lingkungan. Diharapkan dengan adanya regulasi tersebut, pasar mobil listrik di Tanah Air bisa berkembang pesat. Proses yang sama juga terjadi di motor listrik.

Pemerintah sudah menetapkan target, bahwa sebanyak 20 persen penjualan mobil di Indonesia pada 2025 haruslah mobil listrik.

Tapi tidak semua setuju begitu saja dengan visi besar ini. Satu isu yang masih mengganjal adalah bagaimana nantinya baterai diperlakukan ketika sudah tidak lagi berfungsi.

Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Yohannes Loman, pada Juni lalu pernah mengungkapkan kekhawatirannya soal ini. "Kita juga harus ingat bahwa baterai itu tidak seumur hidup, baterai harus diganti," terangnya ketika itu.

Perlu dipikirkan bagaimana mendaur ulang baterainya. Kalau tidak, itu akan menjadi masalah. "Bisa dibayangkan, kalau di suatu saat motor listrik yang beredar di pasaran mencapai 20 juta, kalau setiap tiga tahun dia (motor listrik) harus ganti baterai 4-5 kg," tambahnya.

Perdebatan soal baterai sendiri sudah cukup lama berlangsung. Tapi apa benar baterai bisa merusak lingkungan? Secara ilmiah, jawabannya jelas: iya.

Tahun 1994 lalu, riset berjudul The Ecological Impact of Battery dari Carnegie Mellon University, Pennsylvania, Amerika Serikat berkesimpulan bahwa "efek paling dominan dari baterai berbahan merkuri, kadmium, timbal, nikel, seng, dan lithium kepada manusia termasuk kerusakan neurologis, ginjal, cacat lahir, dan kanker."

Kemudian, melompat ke tahun 2013, U.S. Environmental Protection Agency menyimpulkan bahwa baterai yang pakai nikel dan kobalt, semisal baterai lithium-ion (baterai utama kendaraan listrik) "memiliki potensi dampak lingkungan tertinggi."

Ia menyebut beberapa konsekuensi negatif dari penggunaan baterai ini adalah pemanasan global, polusi, dan dapak kesehatan terhadap manusia.

Suara juga datang dari kalangan akademisi Indonesia. Panut Mulyono, yang sejak Juni lalu terpilih sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah salah satunya.

"Baterai lithium ion itu menciptakan masalah baru yaitu limbah baterai," terangnya pada suatu ketika. Ia bilang kalau potensi masalah itu harus segera dicari jalan keluarnya.

Masih banyak riset-riset sejenis yang berkesimpulan serupa. Idealnya, riset ini jadi bahan pertimbangan bagi pemerintah yang sedang fokus membangun ekosistem yang memungkinkan kendaraan listrik dapat tumbuh subur di Indonesia. Well, limbah baterai masih terus dicarikan solusi terbaiknya.

2 dari 2 halaman

Paling Sulit Dikembangkan

Di sisi yang lain, baterai sendiri adalah satu-satunya komponen yang belum bisa diproduksi di dalam negeri karena ketiadaan bahan baku.

Hal ini ditegaskan oleh Dr. Muhammad Nur Yuniarto dari tim mobil listrik ITS, saat jumpa pers di Kantor Kementerian Perindustrian, tahun lalu. Ia mengatakan bahwa Indonesia bisa membuat 90 persen dari kendaraan listrik, kecuali baterai.

Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, pada Juli lalu mengatakan ingin menerapkan konsep tabung gas elpiji untuk pengisian daya mobil listrik. Maksudnya, pengisian tidak dengan isi ulang, tetapi dengan cara bongkar pasang baterai.

Sekilas memang masuk akal. Tapi kenyataannya tidak bisa semudah itu.

Faktanya, hampir semua pabrikan di dunia tidak ada yang menyediakan paket ganti baterai yang dapat dilakukan sendiri seperti itu. Apa yang dilakukan pabrikan semacam Tesla adalah bagaimana baterai mobil listrik bisa diisi ulang dengan durasi yang semakin cepat.