Sukses

Uji Coba Perluasan Pelarangan Motor Dibatalkan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta batal melarang sepeda motor melintasi ruas jalan Sudirman-Thamrin.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta batal melarang sepeda motor melintasi ruas jalan Sudirman-Thamrin. Keputusan ini awalnya memang ditentang banyak pihak.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansyah, mengatakan bahwa keputusan ini diambil setelah melewati kajian mendalam dengan berbagai pihak.

"Setelah melakukan konsultasi terus, juga arahan baik dari wantimpres, DPRD dan arahan dari gubernur, kita ramu untuk saat ini pelaksanaan pembatasan belum bisa kita laksanakan," kata Andri di Balai Kota Jakarta, Kamis (7/9/2017), dikutip dari News Liputan6.com.

Andri mengatakan, kebijakan ini baru bisa dilakukan setelah sejumlah syarat terpenuhi, yang mana saat ini hal tersebut masih belum bisa direalisasikan. Pelarangan motor, ujarnya, bisa dilakukan kalau MRT dan pembangunan Park and Ride di Plaza Indonesia sudah rampung.

"Sudirman-Thamrin sedang dilakukan pembangunan. Kalau selesai, trotoar bagus, nanti kurir atau yang antar delivery, yang biasanya gunakan motor, jadi bisa pakai sepeda. Kita tunggu itu," ucap Andri.

Bersamaan dengan pembatalan aturan ini, Pemprov DKI juga akan terus menyosialisasikan pembatasan kendaraan pribadi yang telah diatur dalam Perda Nomor 140.

"Kita juga akan mempertajam sosialisasi. Tidak hanya pembatasan tetapi juga sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) No 140 terkait masalah kepemilikan kendaraan bermotor yang harus memiliki garasi. Itu pasal 140 Perda 5 tahun 2014," ucap Andri.

2 dari 2 halaman

Didemo

Sebelum aturan ini dibatalkan, Road Safety Association (RSA) berencana menggelar aksi penolakan, Sabtu (9 Agustus) nanti. RSA bakal menggelar aksi yang disebut Gerakan Aliansi Menentang Pembatasan Sepeda Motor (GAMPAR), dan bakal diikuti oleh ribuan pengendara sepeda motor (bikers).

Dalam aksi ini, ribuan bikers bakal melakukan konvoi dari Patung Panahan, Senayan, Lapangan IRTI, dan melakukan orasi di Monas.

Dijelaskan Rio Octaviano, badan kehormatan RSA, peraturan ini memang bentuk diskriminasi yang dilakukan kepada para pemotor. Meskipun, dalam UU diatur pemerintah berhak mengatur ruang gerak motor dan mobil berdasarkan ruang dan waktu.

"Tapi pertanyaannya, kalau mobil dilakukan mekanisme ganjil-genap dan motor diberlakukan sepenuhnya. Secara logika sederhana, ini jelas diskriminasi. Jika berdasarkan asas kesetaraan, mobil ganjil-genap harusnya motor juga ganjil-genap," jelas Rio kepada Liputan6.com, beberapa hari lalu.