Sukses

Penyebab Tingginya Kecelakaan yang Melibatkan Truk di Jalan Tol

Padahal secara populasi jumlah truk hanya 12% dari total jenis kendaraan yang melewati jalan bebas hambatan. Namun truk menjadi penyebab terbesar terjadinya insiden lalu lintas di tol.

Liputan6.com, Jakarta - Kurang memadainya kemampuan sopir truk di Indonesia dinilai sebagai salah satu penyebab tingginya kecelakaan yang melibatkan truk. Berdasarkan laporan Jasa Marga yang dikutip Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), 70% kecelakaan di jalan tol disebabkan oleh truk.

Padahal secara populasi jumlah truk hanya 12% dari total jenis kendaraan yang melewati jalan bebas hambatan. Namun justru truk menjadi penyebab terbesar terjadinya insiden lalu lintas di tol.

Berdasarkan Roadshow ‘Safety First, Efficiency Follow’ yang diselenggarakan oleh Truck Magz di sejumlah kota, kemampuan mengemudi sopir truk dan pemahaman mengelola potensi kecelakaan masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari minimnya pelatihan dan tingkat pendidikan para sopir truk yang sebagian besar hanya tamatan SMP.

Yang menarik, 74 pengemudi truk yang menerima pelatihan defensive driving school di Jakarta, tingkat pemahaman mereka terhadap rambu-rambu dan peraturan lalu lintas (road sign) cukup tinggi, yakni mencapai 77%. Sebaliknya defensive driving skill atau filosofi mengemudi yang baik dan benar masih rendah, hanya 43%, sedangkan mengelola potensi risiko atau meminimalkan risiko kecelakaan (driving awareness) mencapai 63%.

Sementara di Semarang dari 64 pengemudi, pengetahuan tentang rambu lalu lintas cukup tinggi, sebesar 80%, namun defensive driving skill hanya 49%, dan driving awareness 55%.

Sedangkan di Banten pengetahuan tentang rambu-rambu dan peraturan lalu lintas cukup tinggi, yakni 72%, pemahaman dan cara mengemudi yang benar hanya 47%. Namun managemen potensi risiko kecelakaan sopir truk mencapai 57%.

“Jadi sebenarnya ada yang harus dikaji, karena tidak ada korelasi antara pengetahuan tentang rambu lalu lintas dengan kemampuan mengemudi yang baik dan benar, dan juga dalam mengelola potensi risiko kecelakaan. Ini yang nantinya akan dikaji lebih dalam,” kata Ratna Hidayati pelaksana Roadshow ‘Safety First, Efficiency Follow’ bagi para sopir truk.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Ia mencontohkan di Semarang, dari sopir truk yang ikut pelatihan, ternyata tidak ada korelasinya antara pemahaman sopir yang tinggi terhadap road sign tinggi (80%) dengan kemampuannya meminimalkan risiko kecelakaan. Karena pada kenyataannya, berdasarkan hasil ujian, para sopir truk di Semarang tingkat driving awareness-nya (perilaku) lebih rendah dari road sign knowledge, yakni hanya 55%.

“Tetapi kalau di Jakarta ada sedikit korelasi, karena road sign-nya 77%, driving awareness-nya 63%. Namun ternyata mereka belum mampu berkemudi yang berkeselamatan. Jadi defensive driving itu, bagaimana dia membawa kendaraan itu dia mengutamakan keselamatan diri dan orang lain di sekitar dia. Itu poinnya di sana, bukan cuma memahami rambu-rambu lalu lintas,” terangnya.

Berdasarkan kajian Defensive Driving School dan penilaian Aptrindo, rendahnya kemampuan sopir truk dalam mengemudi yang benar dan persepsi mengelola potensi risiko kecelakaan akibat minimnya pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kompetensi mereka dalam mengendarai truk.

“Ini terjadi karena sopir (truk) tidak ada pelatihan khususnya. Pelatihan khusus itu banyak diberikan pada sopir-sopir B3, sesuai persayaratan ketat yang diberikan oleh Kementerian Perhubungan. Namun apakah semua perusahaan melakukan itu juga? Belum tentu juga,” jelasnya.

Sopir-sopir yang mendapat pelatihan khusus B3 tertuang dalam Keputusan Dirjen Hubungan Darat No. SK.725/AJ.302/DRJD/2004, yakni Tentang Penyelenggaraan Pengangkutan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Jalan.

“Setalah pelatihan ini, kami akan melakukan kajian yang mendalam terhadap korelasi ini, termasuk perilaku sopir-sopir truk di Indonesia. Mungkin nanti kita akan ambil beberapa sampling,” tutup Ratna.

Reporter : Nazarrudin Ray

Sumber : Otosia.com