Sukses

Motor Listrik Sudah Menjadi Transportasi Andalan di Asmat

Awalnya keberadaan motor listrik sempat diprotes warga. Banyak warga tak menginginkan adanya motor di kota papan kala itu. Tapi, protes hanya sesaat.

Liputan6.com, Asmat -

"Permisi kakak, permisi."

Ucapan itu sering didengar di sepanjang jalan dekat Pelabuhan Besar Agats, Kabupaten Asmat. Lalu lalang motor listrik, nyaris tak bersuara padat merayap di jalan yang terbuat dari beton yang hanya bisa dilalui oleh dua motor listrik.

 

Bukan tanpa alasan, si pengendara sepeda motor listrik terus ucapkan kata-kata tersebut, jika laju kendaraannya terhalang orang lain yang berjalan di jalan dekat pelabuhan itu. Wajar, kata-kata itu terus diucapkan si pengendata, karena  kebanyakan motor listrik di Asmat tanpa dilengkapi klakson. 

Tak hanya motor listrik yang tumpah di jalan beton satu-satunya di Kota Agats. Tapi, warga setempat juga sering memenuhi jalan itu, apalagi jika ada kapal bersandar atau helikopter yang mendarat di helipad darurat yang dibangun di pelabuhan tersebut.

Motor listrik menjadi satu-satunya alat transportasi untuk menjelajahi Kota Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Termasuk Bupati Kabupaten Asmat, Elisa Kambu, hanya menumpangi motor listrik berwarna putih, sebagai kendaraan operasional sehari-hari.

Jangan harap bisa bertemu motor berbahan bakar minyak di Kota Agats. Justru motor yang lalu-lalang, mirip dengan motor matik itu adalah motor listrik yang digerakkan oleh aki. Jika aki motor habis, harus diisi dengan listrik, sama seperti mengisi baterai pada telepon genggam.

Motor lisrik menjadi salah satu keunikan di kota sejuta papan, sebutan lain bagi Kabupaten Asmat. Keunikan Asmat tidak hanya dilihat dari adat dan budayanya seperti selama ini yang tergambar hingga mancanegara. Sisi lain yang dikatakan unik di Asmat juga dapat dilihat dari keunikan kotanya yang berdiri di atas rawa dengan kontruksi papan.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 4 halaman

Datangnya Motor Listrik

Motor tanpa suara mesin, masyarakat di Asmat biasanya menyebutnya dengan motor isi ulang, berbahan bakar listrik, pertama kali didatangkan pada 2006 oleh seorang wanita Asal Sulawesi Selatan bernama Erna Sabuddin. Dengan merogok kocek pribadinya, Erna sebenarnya hanya iseng untuk membeli motor listrik di Makassar dan dibawanya ke Agats.

Keberadaan motor listrik sempat diprotes warga. Banyak warga tak menginginkan adanya motor di kota papan kala itu. Tapi, protes hanya sesaat.

Motor yang pertama kali dibeli Erna, diberikan kepada almarhum Muhidin Maddoan, yang saat itu menjabat sebagai Kabag Keuangan Kabupaten Asmat, sebagai kendaraan dinasnya.

Motor listrik itu pun kembali menarik perhatian pejabat di Asmat. Bupati Asmat kala itu, Juvensius A Biakai, minta Erna untuk mendatangkan satu motor kembali, sebagai kendaraan dinasnya.

Alhasil, keberadaan motor listrik menjamur di Asmat. Hal ini karena kondisi geografis wilayah Kabupatan Asmat yang ikut berkembang pesat. Kota yang berdiri di atas rawa, dulunya hanya sebuah kecamatan. Hampir seluruh jalan raya di kota itu terbuat dari papan.

Warga Asmat menjadikan kendaraan ini multi fungsi, salah satunya sebagai ojek dan kendaraan pengangkut barang lainnya.Kendaraan bebas polusi ini memang cocok untuk daerah Asmat. Pertama, karena kondisi jalannya yang terbuat dari beton. Kedua, kecepatannya bisa dikondisikan, sesuai dengan lemah atau tingginya arus listrik yang tersimpan di dalam aki motor.

Karena populernya kendaraan ini, hampir semua pejabat, termasuk Bupati Elisa menggunakan motor listrik, sebagai kendaraan dinasnya.

"Motor ini juga pernah dikendarai oleh Kapolri Tito Karnavian, saat dirinya menjabat sebagai Kapolda Papua," ucap Erna menambahkan.

Catatan Dinas Perhubungan setempat, motor listrik di Agats berkisar 2000-an. Kini, mulai dari ibu rumah tangga dan anak sekolah, banyak yang menggunakan motor listrik di jalan Kota Agats.

Mulyono, salah satu tukang ojek di Agats mengaku membeli motornya pada 2015, seharga Rp20 juta, saat ia baru tiba di Asmat dan diajak keluarganya menetap di Agats.

"Lumayan, satu hari kalau lagi ramai, bisa ngantongi Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta," kata Mulyono yang asli dr Magelang, Jawa Tengah.

Ojek di Agats mematok harga Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu untuk penumpangnya. Uang hasil ojek itu tak lagi dibelikan BBM untuk bahan bakar motornya. Jadi, hasil ojek bisa ditabung atau untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

 
3 dari 4 halaman

Agen Pengisian Listrik

99 persen masyarakat di Agats menggunakan motor listrik, mendorong PT PLN Wilayah Papua dan Papua Barat mendirikan Stasiun Penyedia Listrik Umum (SPLU) di Distrik Agats.

SPLU yang sudah tersedia dan berfungsi dari tahun lalu, baru saja diresmikan pada 7 Februari 2018 kemarin.

PLN berharap dua SPLU di Agats dapat memudahkan masyarakat untuk melakukan pengisian daya untuk kendaraannya. Masyarakat dapat mengisi aki kendaraannya langsung di SPLU tanpa harus pulang ke rumahnya. Bermodalkan Rp5000, masyarakat langsung bisa mengisi aki kendaraan.

General Manager PLN WP2B, Yohanes Sukrislismono menuturkan sistem kelistrikan di Asmat masih ditangani oleh pemerintah setempat. PLN berharap dalam waktu dekat pengalihan sistem kelistrikan bisa diserahkan kepada PLN, agar dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi di Asmat.

"Kami hanya baru memasang dua SPLU di Agats. Tapi tidak menutup kemungkinan, PLN bisa menambah SPLU lagi. Kami juga berharap kepada masyarakat agar dapat menjaga baik fasilitas SPLU ini," jelas Yohanes.

4 dari 4 halaman

Asmat Terus Berkembang

Asmat dimekarkan sebagai daerah otonom baru pada 2003, pemekaran dari Kabupaten Merauke. Daerah ini pun berkembang menjadi kabupaten. Agats, nama ibukota Kabupaten Asmat mulai berbenah dan mempercantik diri, sebagai daerah yang mulai berkembang.

Jalan-jalan utama yang dulunya mengunakan papan, kini berubah mengunakan kontruksi beton. Pengunaan jalan berkontruksi beton di Agats, berawal dari ide gila Juvensius A. Biakai yang saat itu menjabat sebagai Bupati Asmat selama dua periode.

Lalu, ide yang menurut sebagian orang tak masuk akal ini, kembali dilanjutkan oleh Elisa Kambu yang kini menjabat sebagai Bupati Asmat periode 2015-2020. Di tangan Elisa Kambu, hampir 100 persen jalan-jalan di Kota Agats menjadi konstruksi beton.

Untuk menertibkan motor listrik, sejak tahun lalu, pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan, terkait penerapan retribusi bagi pemilik kendaraan dan pemasok kendaraan. Lalu, pemerintah juga menerapkan pengunaan pelat nomor penganti stiker retribusi. Karena kendaraan ini termasuk kategori sepeda, maka pemiliknya tidak memiliki STNK, Pajak Kendaraan atau SIM.

Dari 1.920 motor listrik, sebanyak 800 pemilik motor sudah mendaftar untuk mendapatkan pelat nomor dan sebanyak 400 motor sudah mengunakan pelat motor. Besaran pembayaran pajak retribusi bagi kendaraan listrik dibedakan, untuk kendaraan berbadan besar dikenakan Rp300 ribu dan untuk kendaraan berbadan kecil dikenakan Rp150 ribu yang berlaku untuk satu tahun.

"Untuk mendapatkan pelat nomor, pemilik motor harus memberikan KTP, warna kendaraan dan nomor rangka kendaraan. Hal ini untuk mengetahui kemungkinaan adanya kendaraan yang hilang," ujar Yudha, salah satu staf Dinas Pehubungan Asmat.

Pergantian retribusi pajak kendaraan listrik dari stiker ke plat nomor, menurut Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah Kabupaten Merauke, Frans Sinurat, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pajak retribusi. 

Tapi, penggunaan eplat nomor pada motor listrik sempat menjadi perdebatan warga di Agats. Menurut kebanyakan warga, motor listrik merupakan alat transportasi dengan jenis kendaraan ringan, kategori sepeda. Penggunaan kendaraan jenis ini tak diatur dalam UU Lalu Lintas. Pemiliknya tak perlu mengantongi STNK, membayar pajak maupun memiliki SIM.

"Retribusinya kecil, pemerintah mungkin hanya dapat Rp30 juta per tahun. Untuk itu kami genjot melalui penomoran kendaraan elektrik. Bukan keluarkan pelat nomor sebagaimana diatur dalam UU Lalu Lintas," tutur Frans Sinurat menjelaskan.

Frans menambahkan, dalam satu instansi saja, minimal ada 50 motor elektrik yang digunakan staf maupun honorer. Di Asmat ada 25 satuan kerja perangkat daerah (SKPD), sehingga kalau dihitung jumlahnya bisa 1000 unit. Belum lagi yang dimiliki masyarakat umum. Â