Liputan6.com, Jakarta - Berkembangnya kendaraan listrik di pasar otomotif global dan Indonesia menimbulkan banyak kekhawatiran. Salah satunya untuk industri komponen Tanah Air, karena komponen untuk mobil listrik bakal lebih sedikit dibanding konvensional.
Dijelaskan Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, meskipun jumlah komponen di mobil listrik lebih sedikit, tidak serta-merta mematikan industri komponen dalam negeri.
Advertisement
Baca Juga
"Perubahannya itu di mesin dan sedikit sistem transmisi dan braking system. Namun, kalau dilihat per item reduksinya tidak banyak," jelas Putu di acara Focus Group Discussion Senjakala Industri Komponen Otomotif dalam Menghadapi Era Mobil Listrik di Indonesia, Rabu (18/7).
Lanjutnya, untuk kendaraan konvensional jika dilihat hingga detail per-item membutuhkan 30 ribu komponen. Sedangkan untuk mobil listrik, berkurang hingga menjadi 20 ribu komponen, karena yang berhubungan dengan mesin tidak dibutuhkan kembali.
"Saya kaget juga kalau reduksinya begitu banyak. Karena paling berpengaruh memang di mesin, tapi masih banyak juga yang dibutuhkan bahkan bertambah seperti part untuk dudukan baterai," tegasnya.
Sementara itu, untuk mobil listrik yang masih menggunakan tenaga mesin konvensional, seperti hybrid dan plug-in hybrid masih membutuhkan komponen di mesin. Jadi, komponen justru bisa bertambah.
"Bahkan, berdasarkan data yang sudah tadi saya berikan ada komponen di mesin bakar seperti sekarang dan ada motor listriknya, itu dipakai sampai plug-in hybrid dan masih laris hingga 2040," pungkasnya.
Mobil Hybrid Dinilai Lebih Cocok Ketimbang Listrik
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah mendorong regulasi terkait low carbon emission vehicle (LCEV). Dengan regulasi tersebut, dipercaya bakal mendorong terciptanya pasar kendaraan listrik dan energi terbarukan lainnya.
Namun, untuk kondisi pasar saat ini, kendaraan hybrid dan plug-in hybrid dinilai lebih cocok. Pasalnya, untuk menuju mobil listrik sepenuhnya dibutuhkan persiapan dan fasilitas infrastruktur yang tidak sederhana.
"Kita bisa lihat hybrid (kendaraan) untuk saat ini mungkin lebih cocok, dan kedua baru plug-in hybrid. Setelah infrastruktur bagus bakal melewati permasalahan umumnya," jelas Direktur Industri Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, saat seminar Focus Group Discussion 'Senjakala Industri Komponen Otomotif dalam Menghadapi Era Mobil Listrik di Indonesia', Rabu (17/8/2018).
Lanjut Putu, jika langsung beralih ke mobil listrik dengan seluruh tenaganya mengandalkan baterai, bakal sulit jika tidak ada infrastruktur pengisian baterai cepat.
"Kami mencoba membawa test drive hybrid dan plug-in hybrid, dan jika semua listrik bakal susah tanpa fast charging. Jika biasanya saya ke Bali hanya sehari, ini bisa tiga hari (tanpa fast charging)," tambahnya.
Sementara itu, jika ke depan tujuannya memang mobil listrik atau fuel cell (hidrogen), industri kecil seperti PIKKO harus dipersiapkan dari sekarang.
"Dari awal kita persiapkan, sehingga ada masa transisi dan tidak serta-merta langsung mobil listrik," tegasnya.
Menurut data yang diberikan pihak Kemenperin, dari pasar dunia pada 2030, kendaraan fuel cell hanya satu persen dan baterai (mobil listrik) hanya sembilan persen. Jadi, untuk mobil hybrid dan plug-in hybrid yang masih menggunakan mesin masih mendominasi pasar sebanyak 90 persen.
"Nah, pada 2040 untuk fuel cell berubah sekitar 16 sampai 18 persen, dan dari sana terlalu dini untuk mengatakan industri komponen senjakala," pungkasnya.
Advertisement