Liputan6.com, Jakarta - Wacana pajak mobil nol persen untuk pembelian mobil baru kembali mencuat ke publik. Padahal, usulan yang diyakini mampu mengangkat penjualan mobil di tengah pandemi yang dilayangkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) ini, sudah sempat ditolak Menteri Keuangan, Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Namun, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita kembali mengajukan usul insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pembelian mobil baru ini kepada Presiden Joko Widodo. Bahkan, orang nomor satu di Negeri ini menyambut baik hal tersebut, meskipun keputusan belum final, karena masih dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan.
Advertisement
Baca Juga
"Ini memang sudah kita usulkan. Dan saya sudah laporkan ke presiden dan secara prinsip beliau setuju. Tapi Menteri Keuangan masih dalam proses hitung menghitung," kata Agus Gumiwang, beberapa waktu lalu, seperti dilansir Bisnis Liputan6.com.
Kendati demikian, ia mewajari sikap yang diberikan Kementerian Keuangan yang disebutnya tak mau menghamburkan uang negara secara sia-sia.
"Kemenkeu masih proses hitung-menghitung karena mereka merupakan bendahara negara, mereka punya penilaian sendiri. Kita belum mendapatkan green light dari Kemenkeu," ujarnya.
Menanggapi polemik keringanan pajak bagi industri otomotif ini, kemudian ditanggapi oleh Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, yang menyebutkan solusi relaksasi pajak penjualan mobil harus win-win solution.
"Pendapatan negara dari pajak penjualan barang mewah, di mana pajak penjualan mobil termasuk di dalamnya, terbilang sangat besar," kata Ronny.
Simak Video Pilihan berikut Ini:
Penuh Perhitungan
Sehingga penolakan Kementerian Keuangan di bawah pimpinan Sri Mulyani sangat bisa dipahami. Ini karena pandemi covid-19 memang sangat menekan penerimaan negara, jika pajak penjualan mobil pun ikut dihilangkan.
Maka akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan negara tahun depan. Sementara kondisi ekonomi diproyeksikan akan masih tertekan di tahun 2021.
"Tapi saya kira, pemerintah juga harus adil dalam melihat keadaan. Melihat pajak penjualan mobil harus dalam gambar yang lebih besar, yakni dalam kerangka pandang industri otomotif, yang banyak menyerap tenaga kerja," ujarnya.
Menurutnya merelaksasi pajak penjualan mobil menjadi penting, untuk menggairahkan permintaan mobil yang akan membantu menjaga irama industri otomotif tetap bisa berjalan baik. Jika tidak, maka imbasnya akan merembet ke kemungkinan terjadinya PHK di sektor industri otomotif.
Sebagaimana biasanya, pemerintah perlu mengambil langkah win-win solution dalam kerangka berpikir mutual understanding di antara kedua pihak. Relaksasi perlu dilakukan, tapi tidak sampai ke angka nol, misalnya, karena akan sangat berpengaruh kepada pendapatan negara.
"Jadi pemerintah dan pelaku industri otomotif perlu duduk bersama lagi, menemukan angka yang sama-sama bisa diterima oleh kedua pihak. Misalnya menurunkan dari 10 ke 5 atau 4 persen, sehingga masih ada kontribusi pajak penjualan mobil pada pendapatan negara di tahun depan," pungkasnya.
Advertisement