Sukses

Hati-Hati, Campur BBM Beda Oktan Bisa Berimbas ke Mesin

Beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) Pertamina mengalami kenaikan harga. Lalu apa efeknya ke mesin jika beberapa jenis BBM dicampur untuk menyiasati pengeluaran?

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) Pertamina mengalami kenaikan harga. Saat ini, harga per liter Pertalite menjadi Rp10.000 di mana sebelumnya Rp7.650, Solar subsidi Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 dan Pertamax nonsubsidi Rp 12.500 menjadi Rp 14.500.

Seperti menjadi kebiasaan, jika terjadi kenaikan BBM, tidak sedikit pemilik kendaraan yang mencampur aduk bahan bakar demi menekan pengeluaran. Hal ini tentu tidak baik untuk untuk Kesehatan mesin dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Apalagi perkembangan teknologi kendaraan terbaru menuntuk pemakaian bahan bakar dengan oktan tinggi. Lain halnya dengan mobil-mobil lawas.

Bagaimana dengan kendaraan Mitsubishi terbaru, termasuk LMPV Xpander bila dipaksa menenggak BBM “campursari”?

Menurut Boediarto, General Manager of Aftersales Div PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI), pada dasarnya Xpander tidak ada masalah mencampur aduk Pertalite dengan Pertamax.

Hanya saja, menggunakan BBM dengan nilai oktan rendah akan mempengaruhi performa mesin.

Potensi terbesar dengan selalu bergantian menggunakan oktan rendah ke oktan tinggi adalah potensi kejadian engine knocking akan lebih sering cepat muncul.

“Oleh karena itu, penting untuk konsumen selalu konsisten menggunakan bahan bakar sesuai rekomendasi pabrikan untuk mendapatkan performa dan efisiensi bahan bakar yang optimal,” imbuh Budianto.

 

2 dari 2 halaman

Bisa Bikin Lebih Boros Bensin

 

Hal senada juga dikatakan Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutf Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB). Kualitas bahan bakar yang tidak sesuai dengan engine technology requirement selain dapat mengganggu performa mesin juga menciptakan polusi dari emisi gas buang yang buruk. Jika dipaksakan memakai BBM dengan RON rendah, kendaraan akan ngelitik (knocking). 

Imbasnya mobil menjadi tidak bertenaga karena bensin dengan RON lebih rendah dari kebutuhan mesinnya (engine requirement) akan terbakar oleh kompresi piston di ruang pembakaran mesin (self ignition) tanpa didahului percikan api busi.

"Self ignition ini menyebabkan bensin lebih boros sekitar 20 persen karena terbakar percuma tanpa menghasilkan tenaga sehigga untuk menempuh jarak tertentu membutuhkan bensin lebih banyak," kata Ahmad Safrudin, yang akrab disapa Mas Puput.

Borosnya bensin ini juga meningkatkan emisi baik emisi rumah kaca (CO2) maupaun emisi pencemaran udara seperti PM, HC, CO, NOx, SOx, dan terjadinya detonasi yang menyebabkan keretakan piston, kerusakan ring-piston, busi dan sebagainya karena efek self ignition.

Sumber: Otosia.com