Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian berencana untuk memberikan tambahan insentif untuk mobil hybrid alias hybrid electric vehicle (HEV). Pasalnya, jenis mobil dengan kombinasi mesin konvensional dan motor listrik ini, juga berkontribusi untuk mampu mengurangi emisi karbon hingga 49 persen, berdasarkan perhitungan emisi dari tangki bensin ke knalpot.
Artinya, pengurangan emisi dua mobil hybrid setara dengan satu mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) yang mencapai 100 persen.
Sementara itu, jenis insentif yang bisa diberikan untuk HEV ini, antara lain pengurangan pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Advertisement
Saat ini, PKB dan BBNKB HEV sama seperti mobil bermesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) yakni 12,5% dan 1,75%, sehingga totalnya mencapai 14,25%, sedangkan tarif PPnBM mencapai 6%, sesuai PP 74 tahun 2021. Bandingkan dengan BEV yang diganjar PPnBM, PKB, dan BBNKB 0%. Selain itu, BEV mendapatkan diskon pajak pertambahan nilai (PPN) 10% menjadi 1% dari tarif normal 11%.
Tarif PKB dan BBNKB HEV diusulkan dipangkas menjadi masing-masing 7,5% dan 1,31%, sehingga totalnya mencapai 8,81%. Adapun PPnBM HEV diusulkan diturunkan ke 0% atau minimal sama seperti LCGC sebesar 3%.
Rentetan insentif itu diyakini bisa memangkas harga HEV 8-11%. Artinya, harga HEV yang kini masih Rp 450 jutaan bisa diturunkan menjadi Rp 400 jutaan. Bahkan, harga bisa di bawah Rp 400 juta, jika HEV juga diberikan insentif penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% seperti BEV.
Banjir insentif HEV diyakini dapat mendongkrak penjualan HEV menjadi 104 ribu unit pada 2025. Dengan volume sebesar ini, Indonesia dapat mulai melokalisasi komponen HEV, seperti baterai, sehingga ke depannya bisa menjadi basis produksi HEV untuk pasar dunia.
Pemberian Tambahan Insentif
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengkaji pemberian tambahan insentif HEV di luar PPnBM 6%. Konsep Kemenperin, yang menjadi dasar pemberian insentif adalah emisi karbon yang dikeluarkan HEV. Semakin rendah emisi, mobil hybrid layak diberikan insentif, kendati bentuknya belum dirumuskan.
Pengamat Otomotif Riyanto menuturkan, saat ini, menjual satu BEV lebih sulit ketimbang dua HEV. Oleh sebab itu, penjualan HEV perlu didorong, lantaran emisi dua mobil jenis ini sama seperti satu BEV.
“Saat ini, BEV mendapatkan insentif BBN dan PKB. Saya kira ini bisa dipertimbangkan juga ke hybrid, karena bisa mengurangi emisi sampai 50%. Jadi, mobil hybrid layak mendapatkan tambahan insentif,” kata Riyanto dalam diskusi bertema Otomotif, Ujung Tombak Dekarbonisasi Indonesia yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Menurut dia, mobil hybrid pas digunakan di era transisi menuju netralitas karbon pada 2060. Alasannya, harga BEV saat ini mahal, berkisar Rp 600-700 jutaan, sehingga pasarnya tipis. Memang ada BEV di bawah Rp 300 juta. Akan tetapi, mobil ini bukan untuk pembeli pertama, melainkan pembeli kedua dan ketiga.
Advertisement