Liputan6.com, Jakarta - Dua laporan mengenai kinerja sistem uji emisi WLTP (Worldwide Harmonized Light Vehicles Test Procedure) telah mengungkapkan adanya kesenjangan besar antara jumlah pengujian dari sistem uji emisi tersebut dan emisi kendaraan bermotor yang dihasilkan secara nyata.
Hasil ini dapat mendorong uji coba emisi untuk sekali lagi diubah, dan akan berdampak bagi kendaraan baru yang akan dijual pada 2026.
Baca Juga
Melansir dari Autocar, Uni Eropa (UE) telah membuat undang-undang yang mengatur agar perangkat pemantauan konsumsi bahan bakar on-board OBFCM dipasangkan pada mobil baru sejak 2021 yang dijual di negara-negara anggota.
Advertisement
Laporan terbaru yang diterbitkan oleh Komisi Eropa mengungkap hasil yang buruk. Perkiraan pertama untuk sampel mobil yang didaftarkan pada 2022 menunjukkan WLTP melebih-lebihkan penghematan bahan bakar pada mobil berbahan bakar bensin sebesar 23,7 persen, dan 18,1 persen pada mobil diesel.
Begitu pula mesin plug-in hybrid (PHEV). Meski emisi CO2 rata-rata PHEV adalah 139,5g/km, 23 persen lebih baik dibanding rata-rata mesin pembakaran internal, efisiensi bahan bakarnya jauh di atas data WLTP.
Berdasar alat OBFCM, PHEV rata-rata mengonsumsi bahan bakar sebesar 4L/100km, padahal berdasarkan sistem pengujian WLTP, konsumsinya disebut berada di bawah 2L/100km.
Data tersebut diperoleh Komisi dari lebih 617.000 mobil dan hampir 7.000 van.
WLTP memiliki jaminan bahwa siklus mengemudinya didasarkan pada survei statistik global mengenai profil mengemudi sebenarnya, namun kini UE mengungkapkan metode pengujian tersebut melebih-lebihkan kinerja mobil sebenarnya.
Berdampak Pada Produksi Mobil di Eropa
Meski secara dasar teori, setiap pengujian akan menghasilkan hasil yang berbeda, namun gap yang jauh memancing reaksi Pengadilan Auditor Eropa. Bahkan, mereka memiliki laporan tersendiri yang menunjukkan hasil lebih parah ketimbang Komisi Eropa.
Berdasarkan hasil tersebut, Pengadilan Auditor Eropa merekomendasikan untuk segera memenuhi target pengurangan emisi pada 2030 dengan memastikan penggunaan kendaraan nol emisi dalam jumlah yang cukup, dalam artian memenuhi ketersediaan kendaraan listrik terjangkau beserta infrastrukturnya.Â
Mereka juga menyarankan agar Komisi Eropa membatalkan undang-undang emisi karbondioksida yang berlaku saat ini pada 2026.
Model-model bermesin lebih besar, seperti SUV berat, mobil mewah, PHEV, serta kendaraan ICE yang umumnya berkinerja buruk, kini akan menghadapi pengawasan baru dari otoritas Eropa.
Ini juga dapat memaksa produsen mobil untuk membuat mobil yang lebih kecil, lebih ringan dan lebih efisien, yang besar kemungkinan akan mengakibatkan SUV besar ditinggalkan.
Advertisement
Dampaknya Pada Indonesia
Dalam jangka panjang, ini mungkin juga akan berdampak pada Indonesia karena hingga saat ini, indonesia juga mengikuti standar emisi Eropa walau masih menggunakan peraturan versi lama.
Pada sepeda motor Indonesia menerapkan standar Euro 3 sejak Agustus 2013. Untuk mobil bensin, diterapkan standar Euro 4 mulai 2018, sedangkan diesel dan kendaraan komersial menggunakan Euro 4 sejak 2022.
Di Eropa, penggunaan standar emisi sudah mengadopsi Euro 6, di samping Euro 7 yang masih dalam proses pengesahan.
Infografis Mobil Kepresidenan
Advertisement