Liputan6.com, Paris - Menyusul gagalnya pembicaraan antara Renault dan Volkswagen terkait rencana mobil listrik murahnya, jenama asal Prancis tersebut telah mengonfirmasi bahwa mereka sedang mengembangkan kendaraan listrik baru dengan mitra sebuah firma teknik asal China.
"Pengembangan mobil ini akan dilakukan bersama mitra Tiongkok untuk meningkatkan waktu dan biaya pengembangan kami," kata juru bicara Renault kepada Automotive News Europe.
Pengumuman ini datang beberapa minggu setelah Renault mengonfirmasi berakhirnya pembicaraan dengan Volkswagen untuk pengembangan generasi baru Renault Twingo.
Advertisement
Saat ini, produsen mobil lama yang telah mapan menghadapi tekanan dari entitas China yang menggunakan teknologi kendaraan listrik canggih dan rantai pasok efisien untuk menghasilkan produk yang lebih terjangkau.
CEO Renault, Luca de Meo, sebelumnya mendesak produsen mobil Eropa untuk bersatu dan membentuk kongsi untuk memproduksi mobil listrik dengan harga terjangkau untuk menghadapi tekanan persaingan harga mobil-mobil China yang mulai berdatangan ke seluruh dunia.
Namun, Renault kini justru berbalik arah bermitra dengan firma teknik China untuk mengembangkan Twingo baru mereka.
Dipimpin oleh divisi EV Renault, Ampere, produksi mobil ini tetap akan dilakukan di Eropa, kemungkinan besar di pabrik perusahaan di Slovenia yang saat ini memproduksi Twingo.
Kemitraan Renault dengan firma teknik China yang belum disebutkan namanya ini akan turut membawa pelajaran bagaimana bergerak cepat dalam pengembangan kendaraan listrik.
Dengan kerja sama ini, dikatakan bahwa Renault ingin mengurangi waktu pengembangan dan juga mendorong mobil dengan harga di bawah €20.000 (Rp 354 juta).
Â
Â
Adopsi Mobil Listrik Melambat, Renault dan Geely Kembangkan Mesin Hybrid Bersama
Dalam beberapa hari terakhir, Renault bermitra dengan produsen otomotif China, Geely untuk mengembangkan mesin pembakaran internal bersistem hybrid dalam upaya meningkatkan daya saing bisnis kedua perusahaan di tengah transisi elektrifikasi.
Pemilihan mesin hybrid ini juga sebagai respons menghadapi perlambatan adopsi kendaraan listrik di pasar, namun di lain sisi investasi pada pembangkit listrik rendah emisi tetap meningkat.
"Kombinasi berbagai teknologi powertrain diperlukan untuk mencapai dekarbonisasi yang sukses dalam dunia di mana lebih dari separuh kendaraan yang diproduksi diperkirakan masih mengandalkan mesin pembakaran pada tahun 2040," demikian pernyataan bersama dari Renault dan Geely, dikutip dari Reuters.
Kemitraan patungan dengan kepemilikan 50-50 merupakan pilar utama dari strategi Renault dalam menjaga daya saingnya terhadap pesaing-pesaing yang lebih besar dengan menandatangani beragam kemitraan untuk mengurangi biaya dan memperluas jangkauan pasar.
Bagi Geely, kesepakatan ini menjadi langkah penting dalam ekspansi globalnya, agenda yang juga tengah ditempuh oleh perusahaan-perusahaan China lainnya.
Kemitraan dengan Renault yang diberi nama HORSE Powertrain, akan berbasis di London untuk memasok powertrain kepada merek-merek dalam grup perusahaan yang juga mencakup pihak-pihak ketiga seperti Volvo, Proton, Nissan, dan Mitsubishi.
Dengan proyek ini, keduanya memperkirakan akan mencapai pendapatan tahunan sekitar 15 miliar euro atau setara Rp 264,7 triliun, dengan target volume produksi sekitar lima juta unit powertrain per tahun.
Dengan ini, hubungan antara Renault dan Geely semakin kuat. Pada bulan April lalu, Renault dan Volvo, anak perusahaan Geely, juga telah mengumumkan rencana untuk bersama-sama mengembangkan tiga van komersial listrik di bawah bisnis baru lainnya yang disebut Flexis, dengan tujuan untuk meluncurkannya pada tahun 2026 dengan merek Renault Trucks.
Advertisement