Liputan6.com, Jakarta - Strategi dekarbonisasi sektor otomotif Indonesia perlu menerapkan pendekatan multi-jalur, tidak hanya berfokus pada pengembangan mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV). Demikian kesimpulan dari riset yang dilakukan Cyrillus Harinowo, seorang bankir dan ahli moneter, yang dituangkan dalam buku berjudul Multi-pathway for Car Electrification.
Melalui riset pustaka, kajian lapangan, dan penerapan teori, ia mendalami masalah industri otomotif terkini. Dalam buku yang hampir 300 halaman itu, ia berharap dapat memberikan penjelasan yang masuk akal dan berpotensi mendukung keberlanjutan ekonomi, industri, serta masa depan visi NZE (Net Zero Emissions) Indonesia.
Baca Juga
Salah satu peristiwa yang mendorong Cyrillus menyelami hal tersebut ialah kegemparan yang dibuat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada 2020, yang menyatakan negaranya akan melarang penjualan mobil konvensional pada 2030 dan hanya membolehkan mobil listrik.
Advertisement
"Satu pernyataan Boris Johnson itu membuat saya berpikir bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak akan bisa kembali lagi atau irreversible. Sementara masyarakat Indonesia sendiri belum sepenuhnya paham mengenai itu," ungkap Cyrillus di sela acara diseminasi bukunya, di Jakarta, baru-baru ini.
Namun dari penelusuran lapangan, dorongan negara-negara Barat itu tampaknya menurut Cyrillus bisa diikuti jejaknya oleh Indonesia dengan berbagai prasyarat.
"Seperti contoh, kalau kita bicara mengenai penggunaan BEV saat ini, mobil listriknya mungkin zero emission. Namun ketika ingin men-charging baterainya, bauran energi dari sumber listriknya 80% berasal dari pembangkit listrik yang digerakan oleh bahan bakar fosil (fossil fuel). Berarti mobil listrik itu sebetulnya masih mengeluarkan emisi karbon 87 persen," jelasnya.
Mobil Hybrid Sebagai Solusi
Menyinggung isi buku, Cyrillus menyusun buku tersebut bersama Ika Maya Sari Khaidir yang juga profesional perbankan. Keduanya menulis sebanyak 26 bab yang menyoroti berbagai perkembangan teknologi mutakhir sektor otomotif dalam upaya mengikis karbon, juga mengulas perjalanan berbagai negara baik Eropa, Amerika, bahkan Asia Tenggara.
"Pada kenyataannya, upaya dekarbonisasi sektor otomotif memang serempak dilakukan secara global. Hanya saja, transisi menuju mobil listrik tidaklah mudah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Infrastruktur pengisian baterai masih terbatas, sementara tuntutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca semakin meningkat," kata Cyrillus.
Sebagai respons, banyak produsen mobil global, termasuk yang beroperasi di Indonesia, mulai mengembangkan Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) sebagai langkah awal sebelum beralih sepenuhnya ke mobil listrik, hingga mesin fleksibel. Langkah inipun dianggap sebagai solusi dari stagnasi dekarbonisasi jika selalu mengandalkan penetrasi mobil listrik. Terlebih dengan perang dagang sengit antara Barat versus China yang memicu pengembangan multiteknologi.
Cyrillus mengungkapkan Brazil merupakan contoh paling tepat buat Indonesia. Negeri Amerika Latin itu memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam hal sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar.
Dalam upaya dekarbonisasi, Brazil telah mengadopsi penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan, yang dihasilkan dari industri gula mereka. Brazil adalah produsen bioetanol terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Penggunaan bioetanol di Brasil berpotensi mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi, yang merupakan penyumbang utama emisi karbon di negara tersebut. Negara tersebut juga mengembangkan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan untuk diesel, serta mobil flexy hybrid yang menggunakan bioetanol.
Dengan populasi besar dan kesadaran lingkungan yang meningkat menurut dia, Brasil memiliki potensi untuk berkembang dalam industri mobil listrik dan kendaraan ramah lingkungan lainnya.
Sementara bagi Indonesia menurut dia, dengan mempertimbangkan kemunculan tren ragam teknologi dalam dekarbonisasi maka memiliki peluang untuk menguasai rantai pasok kendaraan berteknologi listrik dan mesin flexy. Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan cadangan nikel guna memproduksi baterai listrik yang diperlukan untuk mobil listrik dan hybrid.
Pasar mobil listrik sendiri menurut Cyrillus secara global sebetulnya juga masih relatif terbatas saat ini. Bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga pasar global. Jadi dari sisi industri mobil di Indonesia menurut dia, tetap melanjutkan bisnis yang ada saat ini sambil secara bertahap melakukan transisi melalui pengembangn industri mobil yang memiliki pasar yangbesar, seperti mobil hybrid.
Data penjualan mobil di Amerika selama 2023 telah mengkonfirmasi lonjakan signifikan minat masyarakat terhadap mobil hybrid. Kenaikan drastis ini mengindikasikan pergeseran preferensi konsumen menuju kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Dengan semakin populernya mobil hybrid maka peluang untuk menghadirkan inovasi baru pun semakin terbuka lebar.
Bahkan, segmen LCGC yang selama ini identik dengan mobil berharga terjangkau, kini berpotensi untuk dihadirkan dalam varian hybrid sehingga menandakan bahwa teknologi ramah lingkungan semakin inklusif dan dapat diakses oleh berbagai kalangan masyarakat.
Advertisement
Melawan Arus
Chyrillus menyadari kehadiran bukunya tersebut seakan melawan arus, yakni tren mobil listrik dianggap satu-satunya yang bisa menyelesaikan persoalan emisi karbon. Namun dia menekankan pentingnya memahami bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak hanya terbatas pada mobil listrik.
"Secara global, saat ini hampir semua sepakat bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak semata mobil listrik. Itu tergantung dari masing-masing negara. Norwegia yang listriknya dikatakan hampir 100 persen hijau karena menggunakan pembangkit tenaga air (hydro power), bisa benar-benar ramah lingkungan," ungkapnya.
Namun sebaliknya bagi Indonesia, justru kondisi saat ini menyajikan banyak pilihan yang sesuai. "Saya awalnya tidak aware dan dogmatis sekali, pokoknya mobil listrik adalah mobil yang ramah lingkungan. Namun akhirnya menjadi paham bahwa mobil LCGC bisa menjadi ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik yang ada. Begitu pula mobil hybrid dan mobil flexy," tegasnya.
Penerapan paradigma inipun dinilai Cyrillus semakin mendesak, sebab Indonesia dihadapkan dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 sebelum beranjak mencapai visi NZE di 2060.
"Kalau kita bicara mengenai NDC 2030, kembali lagi berkaitan dengan pembangkitenerginya, itu tinggal lima hingga enam tahun lagi. Jadi dari situ sebetulnya mobil non listrik yang ramah lingkungan masih menjadi pilihan yang harusnya preferable untuk pencapaian NDC 2030, karena bisa 50% carbon free, tetapi gagasan ini seperti melawan arus," tutupnya.
Infografis Selamat Datang Era Mobil Listrik di Indonesia
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement