Sukses

MK Kabulkan Batas Usia Capres-Cawapres yang Diajukan Mahasiswa UNS Dinilai Bukan Fokus untuk Gibran

Adanya gugatan batas capres-cawapres tersebut tidak hanya berfokus untuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Partai Garuda pun menilai, adanya gugatan batas usia capres-cawapres tersebut tidak hanya berfokus untuk Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi.

"Ada yang bilang, gugatan yang dikabulkan oleh MK ada menuliskan nama Gibran, sehingga tidak etis jika disidangkan oleh pamannya sendiri," ujar Teddy melalui keterangan tertulis, Senin (30/10/2023).

"Pertanyaannya, apakah gugatan itu untuk Gibran atau bukan? Ternyata nama Gibran itu hanya sebagai contoh kepala daerah muda, bukan gugatan itu untuk Gibran. Karena kalau mau, sangat boleh gugatan itu diperuntukkan untuk gibran atau bahkan gibran sendiri yang menggugat. Tapi gugatan itu sama sekali bukan untuk Gibran," sambung dia.

Teddy juga menyebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan alasan mengabulkan permohonan penggugat batas usia capres-cawapres bukan untuk Gibran Rakabuming Raka.

"Hakim MK Saldi Isra pun sebagai yang kontra menyampaikan bahwa, nama Gibran itu bukan alasan permohonan penggugat. Artinya apa? Artinya beliau hakim MK yang tidak setuju gugatan itu dikabulkan pun mengakui bahwa, gugatan itu bukan untuk gibran, gibran hanya jadi acuan dalam gugatan," kata dia.

Hal itu menurut Teddy, sama seperti gugatan Partai Garuda yang menyebutkan nama-nama pejabat muda di Indonesia, bahkan nama-nama Presiden dan perdana menteri muda negara-negara lain.

"Gugatan itu bukan diperuntukkan untuk mereka, tapi sebagai penguatan bahwa orang-orang muda sebenarnya mampu dan hebat-hebat," terang dia.

"Sudah jelas, tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi putusan MK final dan mengikat. Kecuali kalau perdebatan ini memang sebagai bahan kampanye Capres-cawapres tertentu, karena capres-cawapres tersebut sama sekali tidak memiliki sesuatu yang bisa di sampaikan ke masyarakat," tandas Teddy.

 

2 dari 4 halaman

Penjelasan Saldi Isra soal Jengkel dengan Putusan MK Batas Usia Capres-Cawapres

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra meluapkan rasa jengkelnya lewat penyampaian perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dikabulkannya uji materil Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu), yakni isi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berubah frasa menjadi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.

Saldi Isra kemudian membandingkan amar Putusan a quo dengan petitum yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 90/PUU- XXI/2023. Sebagaimana termaktub dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menyatakan, "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun", dimaknai menjadi "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Sementara itu, petitum permohonan a quo hanya memohon, "Menyatakan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 berusia paling rendah 40 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota."

"Secara tekstual, yang dimohonkan bersyarat adalah berusia paling rendah 40 tahun untuk dibuat alternatif atau dipadankan dengan, atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Lalu, mengapa amarnya bergeser menjadi 'atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah?'," ujar Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin 16 Oktober 2023.

 

3 dari 4 halaman

Ada Catatan Tebal

Dalam hal ini, menurut Saldi, adalah benar bahwa frasa "kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota", sebagaimana amar permohonan adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum alias elected official.

Tetapi perlu diberi catatan tebal, lanjut Saldi, tidak semua jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum adalah kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota.

"Berkenaan dengan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang tidak boleh tidak harus dimunculkan: bisakah lompatan nalar tersebut dibenarkan dengan bersandar pada hukum acara, yang secara prinsip hakim harus terikat dan mengikatkan dirinya dengan hukum acara?," ucap dia.

"Sependek yang bisa dipahami, hakim dapat sedikit bergeser dari petitum untuk mengakomodasi permohonan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Sepahaman saya, celah untuk sedikit bergeser hanya dapat dilakukan sepanjang masih memiliki ketersambungan dengan petitum alasan-alasan permohonan,”" sambung Saldi.

Hanya saja, kata Saldi, setelah membaca secara menyeluruh Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, alasan permohonan atau petitum pemohon nyatanya jelas hanya bertumpu pada frasa “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.

"Bahkan, secara kasat mata, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menggunakan pengalaman sekaligus keberhasilan Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih atau elected official. Dengan adanya lompatan kesimpulan seperti termaktub dalam amar Putusan a quo, tidak salah dan tidak terlalu berlebihan munculnya pertanyaan lanjutan: haruskah Mahkamah bergerak sejauh itu?," Saldi menandaskan.

 

4 dari 4 halaman

MK Kabulkan Sebagian Gugatan Batas Usia Capres Cawapres yang Diajukan Mahasiswa UNS

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas.

MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin 16 Oktober 2023.

MK menyatakan, bila permohonan sebelumnya seperti Partai Garuda berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini. Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.

"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.

Hakim MK menyatakan, dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun.