Liputan6.com, Jakarta - Fenomena pasangan calon tunggal masih menjadi polemik pelaksanaan Pilkada serentak 2015. ‎Daerah-daerah yang hanya memiliki calon tunggal pun berpotensi ditunda hingga pilkada 2017.
Kondisi itu dinilai lantaran terlalu tingginya elektabilitas seorang calon‎ di daerah. Hal itu juga membuat banyak partai politik (parpol) enggan mengeluarkan kandidat dan justru merapat ke calon kuat itu. Potensi praktik borong parpol pun tak terelakkan.
Anggota Komisi‎ II DPR Yandri Susanto berharap, ada regulasi yang jelas mengatur praktik borong parpol. Hal itu untuk mengantisipasi munculnya calon tunggal saat Pilkada. Ia pun mengusulkan agar batasan koalisi partai dimasukkan dalam agenda revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Advertisement
"Harus ada batas atas dan batas bawah koalisi. Supaya tidak ada borong-memborong semua partai. Kalau itu dilakukan enggak mungkin ada calon tunggal," ujar Yandri usai diskusi 'Calon Tunggal Kepala Daerah dan Komitmen Parpol Siapkan Pemimpin Lokal'‎ di Gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat 7 Agustus 2015.
Batas bawah koalisi, kata Yandri, idealnya ‎20% kursi di DPRD tersebut. Sedangkan batas atas 60%. Artinya, koalisi tidak bisa dilakukan jika seluruh parpol pendukung jumlah kursinya lebih dari 60% saat diakumulasi.
‎"Idealnya 20-60%. Kenapa kami pilih 60? Itu kan perlu mayoritas di DPRD untuk nanti kerja sama membangun pemerintah setelah pilkada," terang dia.
Dengan demikian‎, lanjut Yandri, jika usulan tiap parpol wajib mengeluarkan calon kepala daerah dan batasan koalisi diterapkan dalam revisi UU Pilkada, maka fenomena calon tunggal tidak akan terjadi.
"Nah, kalau tidak ada borong partai berarti kan ada partai yang tersisa. Kalau ada partai yang tersisa, logikanya kalau setiap parpol harus mengusung kan ada koalisi baru," kata dia.
"Jadi kalau itu dimasukkan saya yakin semua fraksi akan menerima, pemerintah juga akan menerima, dan Insya Allah pilkada selanjutnya tidak ada ribut-ribut lagi soal calon tunggal," pungkas Yandri. (Rmn/Ron)