Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fadli Zon tak setuju dengan wacana pemberian sanksi bagi partai politik (parpol) yang tidak mengusung calon dalam pelaksanaan pilkada serentak. Wacana itu dinilainya bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Ada 7 daerah yang terancam tak bisa mengikuti pilkada pada Desember 2015. Daerah itu lantaran hanya memiliki satu pasangan calon.
Baca Juga
"Itu cara berpikir yang konyol, ini demokrasi apa bukan, sekolahnya di mana itu yang mengusulkan? Komentar seperti itu mengganggu intelektualitas kita," ujar Fadli dalam diskusi 'Retaknya Pilkada Serentak' di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (8/8/2015).
Advertisement
Menurut Fadli, partai politik memiliki hak untuk mengajukan atau tidak mengajukan calon kepala daerah. Parpol juga mempunyai hak untuk menunggu positioning atau penempatan calon kepala daerah agar pemilihan dapat berlaku adil, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua calon untuk memperoleh dukungan masyarakat.
Selain itu, Fadli mengingatkan agar permasalahan mengenai calon tunggal akibat beberapa partai atau pasangan calon yang tidak mendaftar Pilkada dapat diselesaikan melalui perubahan sistem pemilihan yang dipikirkan secara matang.
"Jangan sampai gara-gara 1 atau 2 orang, aturan main mau diubah. Ini kan negara bukan punya nenek moyang mereka juga," ucap Fadli.
Wacana pemberian sanksi bagi partai politik mulai muncul setelah 7 daerah peserta pilkada serentak 2015, hanya memiliki pasangan calon tunggal. Menurut Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, daerah dengan satu pasangan calon tidak dapat melaksanakan pilkada, sehingga harus ditunda hingga 2017.
Calon Boneka
Calon Boneka
Terkait isu 'calon boneka' agar suatu daerah bisa melaksanakan pilkada serentak gelombang pertama, Fadli tak mempermasalahkannya.
"Calon boneka enggak ada hukum pelarangan, karena dia juga bukan disebut sebagai calon boneka, calon yang kuat ingin membuat kontender atau menjadi kompetitornya," kata Fadli.
Politisi Partai Gerindra itu menilai, tak ada yang salah jika memang akhirnya ada calon boneka. Kendati Fadli mengakui bila hal itu tujuannya kurang elok.
"Kan supaya dia bisa maju. Kan enggak dipersalahkan oleh hukum sekarang. Walaupun sekarang saya kira secara demokrasi ini akal-akalan tapi enggak bisa disalahkan atau menyalahi undang-undang," ujar dia.
Selain itu, Fadli menilai pihak-pihak yang menjalankan taktik calon boneka ini tak bisa diberi sanksi. Sebab praktik itu tak ada payung hukum yang mengaturnya.
"Secara hukum enggak ada sanksi untuk calon boneka, karena kalau calon yang kuat membentuk kompetitornya itu kan sah-sah saja secara hukum. Dan saya kira enggak ada masalah, tapi saya kira secara demokratis ini mengakali prosedur demokrasi," tandas Fadli.
Anggota Komisi II DPR Arwani Thomaffi menambahkan, polemik daerah yang hanya memiliki calon tunggal dan membuat terancamnya tak bisa mengikuti pilkada serentak adalah sebuah permasalahan bersama dan harus dicarikan solusi secepatnya.
"Satu-satunya cara segera direvisi Undang-Undang Pilkada ini.‎ Misalnya bagaimana kita mengatur lagi definisi kesertaan pilkada. Apakah ketika ada daerah yang hanya ada satu calon harus menunggu jadwal pilkada serentak berikutnya," kata Arwani.
Jika memang harus diundur hingga tahun 2017, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menilai itu tidak efektif. Sebab dikhawatirkan, nanti ada revisi UU Pilkada yang akhirnya membolehkan pilkada hanya diikuti 1 pasang calon.
"Kalau harus menunggu, bagaimana jika nanti pada 2017 jadwal pilkada hanya ada (diperbolehkan) satu calon? Kalau hanya 1 calon menunggunya 5 tahun, itu tidak efektif. Sehingga menurut saya, perlu ada redefinisi mengenai keserantakan pilkada. Jadi bisa diulang pada tahap pendaftarannya saja, nanti dilakukan tidak perlu menunggu ‎jadwal pilkada serentak berikutnya. Jadi untuk efektivitas," papar Arwani.
Advertisement
Jangan Takut Survei
Jangan Takut Survei
Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyatakan, partai politik diminta ikut mengajukan 'jagoannya' guna menghindari penundaan pilkada. Mereka pun diharap tak melihat seorang kandidat berdasarkan survei.
"Menurut saya parpol punya peran penting supaya survei tidak menjadikan landasan," kata Sebastian.
Menurut dia, parpol harusnya percaya diri memajukan calon kepala daerah yang diusungnya. Mereka tak boleh takut dengan pasangan incumbent yang ikut pilkada dan jadi jawara versi survei.
"Parpol cenderung mencari calon yang popularitasnya tinggi dengan mengesampingkan track record," ujar Sebastian.
Belum Ada Solusi
Belum Ada Solusi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku telah menggelar rapat konsultasi dengan pihak-pihak terkait dalam menyikapi masalah calon tunggal dalam pilkada. Komisioner KPU Arief Budiman mengungkapkan, rapat konsultasi itu pihaknya diminta mencarikan solusinya agar adanya calon tunggal tak terus menjadi polemik.
"Kami sudah melakukan rapat dengan Presiden dan Wapres dan beberapa menteri, pimpinan DPR, KPU dan Bawaslu. Dalam pertemuan tersebut KPU diminta memberikan jalan keluar," kata Arief
"KPU mengatakan sampai saat ini tidak ada jalan keluar yang bisa diberikan KPU karena peraturan sudah dibuat sudah dilaksanakan maka pintunya (solusinya) adalah Perppu atau revisi UU," sambung dia.
Arief berujar, jika pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU Pilkada atau menerbitkan Perppu, pihaknya telah mengingatkan harus segera dilaksanakan mengingat pelaksanaan pilkada serentak sudah tidak lama lagi.
"Tapi kami mengingatkan itu dibutuhkan cepat harus segera. Karena kalau tidak dilakukan, pelaksanaan Pilkada 9 Desember akan terlampau," tegas Arief.
Kendati demikian, Arief menegaskan, KPU telah siap melaksanakan pilkada kapan saja. KPU telah mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi.
"KPU sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Silakan saja gimana kebijakannya. Mau satu putaran atau gimana, termasuk calon tunggal apakah melawan punggung atau kolom kosong. Kami siap saja," tandas Arief. (Ali)
Advertisement