Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang permohonan uji materi atau judicial review terkait ketentuan pasangan calon tunggal. Permohonan ini salah satunya diajukan oleh calon Wakil Walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana dan Sekretaris DPC PDIP Surabaya Syaifuddin Zuhri.
Pada permohonannya, Whisnu merasa dirugikan hak konstitusinya sebagai calon Wakil Walikota Surabaya sekaligus kader PDI Perjuangan jika ketentuan paling sedikit 2 pasangan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Pengacara pemohon Edward Dewaruci menjelaskan adanya pasal tersebut membuat KPU harus memperpanjang masa pendaftaran untuk mencari pasangan calon lawan. Jika tidak menemukan pesaing, maka pilkada di Surabaya terancam ditunda hingga 2017.
"Ini yang kemudian menyebabkan ada potensi kerugian yang dialami pasangan calon ini (Risma-Whisnu). Karena hak konstitusi yang harusnya dilindungi sebagai calon itu kemudian digantung atau disandera oleh parpol lain yang seharusnya bisa mengajukan calon peserta pilkada," ujar Edward dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/8/2015).
Begitu juga Syarifuddin yang dalam hal ini mengajukan permohonan sebagai nama warga negara Indonesia dan kader PDI Perjuangan. Dia merasa dirugikan dengan ketentuan tersebut, karena proses pengajuan calon sudah dilakukan sedemikian rupa dan mengeluarkan biaya tidak sedikit.
"Kerugian yang akan semakin muncul selain sebagai warga negara, mereka sebagai kader parpol ini merasa mekanisme pencalonan dari PDIP itu butuh waktu panjang dan biaya tidak sedikit. Itu harus tetap dihargai sebagai paslon," tambah Edward.
Karena itu, keduanya berharap MK membatalkan Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang menentukan batas minimal pasangan calon pada pilkada.
Ditegur Hakim
Pada pengajuan permohonan ini, baik pemohon I Whisnu Sakti Buana maupun pemohon II Syaifuddin Zuhri ditegur Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Pada legal standing-nya, Whisnu dan Syaifuddin sama-sama menyatakan posisinya sebagai kader partai politik PDI Perjuangan.
"Tolong mengenai legal standing, ya. Kalau masih menyatakan posisi sebagai pengurus PDIP, beberapa putusan Mahkamah secara tegas, semua parpol yang memiliki perwakilan di DPR, posisi pengurus parpol itu tidak punya legal standing, karena parpolnya sudah membahas UU itu di DPR," ucap Patrialis.
Dia mengatakan, jika pengurus parpol diberi legal standing, MK berpotensi dijadikan ajang pertarungan bagi parpol yang kalah di parlemen. Karena itu, dia mengusulkan agar permohonan dibuat atas dasar kerugian yang dialami Whisnu sebagai calon Wakil Walikota Surabaya.
"Jadi cukup kalau sodara Whisnu itu potensial dirugikan karena memang dia calon wakil walikota. Begitu juga dengan pemohon Syaifuddin ini kan juga sekretaris partai, jadi kembali mutatis mutandis pertimbangan saya tadi dipikirkan," jelas Patrialis.
Mantan Menkumham ini juga mengkritisi petitum yang dibacakan kuasa pemohon Edward Dewaruci. Patrialis mengatakan MK tidak mempunyai kewenangan memerintahkan KPU mencabut aturannya.
"Pada petitum tadi meminta antara lain KPU diperintahkan mencabut (Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2). Apakah itu kewenangan Mahkamah atau bukan? Jangan jadikan raja mahkamah ini," ucap Patrialis.
"Kadang-kadang rakyat ini terlalu percaya kepada Mahkamah, sehingga seakan-akan bisa melakukan apapun, dan itu berbahaya. Nanti timbul potensi mentang-mentang juga dari Mahkamah. kita harus menjaga format dan sistem ketatanegaraan kita. Harus berjalan dengan proporsional, sesuai tugas dan kewenangan," tandas Patrialis.
Ada 3 perkara yang disidangkan di MK hari ini. Semua perkara tersebut merupakan permohonan judicial review tentang aturan calon tunggal dalam pilkada. Sidang dipimpin oleh 3 hakim konstitusi, di antaranya Patrialis Akbar, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo. (Bob/Yus)
Pengacara: Hak Konstitusi Risma-Whisnu Tersandera Parpol Lain
Namun, Whisnu dan Syaifuddin perlu mengubah legal standing-nya dalam gugatan yang mulai disidangkan hari ini di MK tersebut.
Advertisement