Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi memutus mengabulkan sebagian Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang diujimaterikan Fadjroel Rachman, Saut Mangatas Sinaga, dan Victor Santoso Tandiasa. Mereka bertiga mempermasalahkan Pasal 41 ayat 1 dan 2 yang mengatur mengenai calon perseorangan atau independen.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Utama, Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Dalam amar putusannya ini, Mahkamah mengubah aturan persyaratan bagi calon kepala daerah dari jalur perseorangan. Yakni, syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah. Mahkamah menyatakan, Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Pilkada yang mengatur persyaratan calon independen itu bertentangan dengan konstitusi.
Advertisement
"Pasal 41 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan didasarkan pada jumlah keseluruhan penduduk," ujar Arief.
‎Mahkamah mempertimbangkan, bahwa Pasal 41 ayat 1 dan 2 itu telah mengabaikan prinsip keadilan, sehingga mengabaikan semangat kesetaraan di hadapan hukum. Persentase syarat dukungan tidak dapat didasarkan pada jumlah penduduk. Hal itu dikarenakan tidak semua penduduk punya hak pilih.
"Keterpilihan kepala daerah bukan ditentukan jumlah penduduk keseluruhan, tapi yang sudah punya hak pilih," kata Arief.
Mahkamah juga mempertimbangkan, Pasal 41 ayat 1 dan 2 telah menghambat seseorang memeroleh hak yang sama dalam pemerintahan. Persyaratan perseorangan berbeda dengan syarat calon yag didukung parpol, di mana syarat pencalonan ditentukan melalui perolehan suara berdasarkan daftar pemilih tetap.
"Bunyi pasal tersebut harus dimaknai jumlah penduduk yang sudah memiliki hak suara yang tetap," kata Arief.
Meski menyatakan calon kepala daerah dari jalur independen harus bersyaratkan pada DPT, namun baru akan berlaku pada pilkada serentak tahap II, yakni pada 2017. Artinya, putusan MK ini tidak berlaku untuk pilkada serentak 2015.
Adapun permohonan uji materi ini diajukan oleh Fadjroel Rachman, Saut Mangatas dan Victor Santoso. Menurut pemohon, Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Pilkada yang mengatur persyaratan calon tunggal telah mempersempit peluang pemohon untuk dicalonkan dalam pilkada.
Secara spesifik, kerugian hak konstitusinal terjadi atas kepastian hukum, perlakuan yang sama, dan hak yang sama dalam memeroleh jabatan dalam pemerintahan.
Dalam Pasal 41 ayat 1 dan 2, dijelaskan bahwa syarat pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan yaitu, mendapat dukungan paling sedikit 10 persen bagi daerah dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa. Kemudian, dukungan 8,5 persen bagi daerah dengan jumlah penduduk 2.000.000 sampai 6.000.000 jiwa.
Kemudian, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 jiwa sampai dengan 12.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 7,5 persen. Selanjutnya, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari12.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 6,5 persen. (Ali/Dan)