Sukses

Bola Panas Calon Tunggal, Masih Ada Masalah Tertinggal

Pasalnya, MK mengusulkan teknis pemilihan calon tunggal hanya akan mencantumkan kata 'setuju' atau 'tidak setuju'.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi memutuskan daerah yang memiliki pasangan calon tunggal tetap bisa melaksanakan Pilkada pada 2015. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mau tak mau harus kembali melakukan perubahan, baik Peraturan KPU (PKPU) maupun tahapan pemilihan, khususnya mekanisme pemilihan calon tunggal.

Politikus PDIP, Arteria Dahlan mengatakan putusan MK secara normatif sudah tepat. Namun, putusan tersebut masih menyisakan masalah. Pasalnya, MK mengusulkan teknis pemilihan calon tunggal hanya akan mencantumkan kata 'setuju' atau 'tidak setuju'.

"Saya masih berpendapat, putusan ini masih menyisakan permasalahan. Yang jadi persoalan di sini, kalau banyak pemilih tidak setuju, maka pilkada harus ditunda di periode selanjutnya. Artinya tetap tidak solutif ini," ujar Arteria kepada Liputan6.com, Selasa 6 Oktober 2015.

Anggota Komisi II DPR RI ini pun menilai MK harusnya dicarikan rumusan yang memberikan kepastian hukum, terutama dalam menghadapi situasi terburuk sekali pun.

"Harusnya, dicarikan rumusan yang memberikan kepastian hukum, di mana dalam situasi terburuk sekali pun akan terlahir pemimpin hasil Pilkada serentak tanpa menunggu Februari 2017," tegas Arteria.

Komisioner KPU, Ferry Kurniawan menegaskan usulan dari KPU akan disosalisaikan kepada masyarakat. Meski demikian, usulan teknis pemilihan itu belum final.

"Kita kan tetapkan dulu desain surat suaranya. Tapi yang jelas, kita harus beri pemahaman kepada masyarakat, bahwa setuju dan tidak setuju itu bagian dari cara memilih," tegas Ferry saat dihubungi.

Kodifikasi UU Pemilu

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, menilai perlu kodifikasi hukum agar tidak terjadi permasalahan ke depan.

"Kodifikasi sebagai sebuah teknik legislatif terinspirasi oleh tiga prinsip utama: sederhana, koheren, dan lengkap. Idealnya, kodifikasi menjadi cara terbaik untuk mencapai ketiga prinsip tersebut, maka dari itu seharusnya kodifikasi dapat menyederhanakan sistem hukum dan menjamin perlindungan hak-hak individu yang lebih baik," tutur Titi.

Idealnya, lanjut dia, sebuah sistem hukum yang terkodifikasi akan mengatasi masalah-masalah seperti konflik antara aturan yang berbeda, opini doktrin, dan peningkatan proses pengadilan.

"Dengan cara ini, dapat memperkenalkan cara baru untuk membuat dan menyusun ketentuan-ketentuan hukum yang mewakili sebuah titik balik dalam metode pengaturan lewat UU," tandas dia.

Meski demikian, kodifikasi ini tidak bisa diterapkan untuk mengatur Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang. Titi menjelaskan ini baru bisa dilakukan pada 2019 nanti.

"Akan tetapi, meskipun kodifikasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi masalah-masalah di atas, tidak ada argumen yang menyatakan bahwa UU pemilu yang terkodifikasi selalu memberikan jaminan penyelenggaraan Pemilu yang lebih baik. Akan tetapi, dalam menghadapi Pilkada serentak di tahun 2019 dan Pilkada Serentak di tahun 2027, satu UU yang mengatur proses pemilu akan membantu perencanaan yang lebih baik dan penerapan yang terintegrasi dalam pemilu," pungkas Titi. (Bob/Ron)