Liputan6.com, Makassar - Calon kepala daerah yang gagal dalam pilkada kali ini rawan mengalami depresi berat hingga gangguan jiwa. Menurut pakar psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM) Basti Teteng ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi kejiwaan para calon yang gagal.
Pertama, kata dia, anggaran besar yang dikeluarkan pasangan calon atau paslon menjadi penyebab utama kandidat kepala daerah gagal menjadi stres.
"Meski ada beberapa kegiatan ditanggung langsung oleh KPU, namun paslon masing-masing tetap diam-diam menggunakan anggaran yang besar untuk memuluskan jalannya seperti mengumpulkan konstituen, bayar survei dan masih banyak lagi biaya untuk keperluan pribadi paslon itu sendiri," ungkap Basti saat dihubungi di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (8 Desember 2015).
Baca Juga
Faktor kedua, kata dia, keinginan atau hasrat yang tinggi, sehingga paslon yang gagal sulit menerima keadaan. "Sudah kalah tapi merasa dikerjain ini tentu menjadi beban dalam pikiran mereka sehingga bisa berdampak depresi jadi kalau terlalu optimis sulit nantinya menerima kenyataan," lanjut Basti.
Ketiga, calon kepala daerah yang gagal akan stres karena dia selalu menduga kekalahannya karena dicurangi oleh rivalnya.
"Biasanya mereka yang kalah cenderung menganggap kekalahannya karena dicurangi sehingga berdampak langsung dengan kejiwaannya dan lama-lama menjadi stres," kata dia.
Untuk mencegah stres berlebihan, imbuh Basti, kandidat harus bersikap ikhlas jika kalah dalam pertarungan pilkada ini.
"Dia harus berlapang dada hadapi kenyataan, tidak menyalahkan orang lain, dan hindari pikiran yang selalu merasa dicurangi," ujar Basti.