Sukses

Ini Formulasi MK Hitung Selisih Suara untuk Sengketa Pilkada

Banyak pemohon yang ternyata salah tafsir dan penghitungan terhadap syarat maksimal 2% itu.

Liputan6.com, Jakarta - Banyak pihak menilai Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menjadi batu sandungan terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHPKada). Sebab, pasal itu mengatur mengenai syarat gugatan PHPKada, yakni selisih suara maksimal 2%.

Namun, banyak pemohon yang ternyata salah tafsir dan penghitungan terhadap syarat maksimal 2% itu. Salah satunya ketika sidang perdana PHPKada Kabupaten Lebong, Bengkulu.

"Dari mana saudara menghitung selisih suaranya 4%. Kok hitungan saya beda ya?" ucap Ketua Majelis Hakim Panel 3, Patrialis Akbar di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 7 Januari 2016.

Banyak kuasa hukum yang mengira, jika selisih suara maksimal 2% itu adalah selisih persentase suara pasangan calon dengan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dalam rekapitulasi penghitungan suara.

Misalnya, pasangan calon A mendapat 54% suara, dan pasangan calon B memperoleh 46% suara. Maka selisih suaranya adalah 8%, sehingga tidak bisa mengajukan permohonan PHPKada ke MK.

Ternyata dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dan Perselisihan Hasil Pilkada, terutama dalam Pasal 6 ayat (3), sudah disusun formulasi penghitungan untuk syarat pengajuan PHPKada ke Mahkamah Konstitusi.

Formulasi penghitungan itu disusun sebagai tafsir dari norma yang tercantum dalam Pasal 158 UU Pilkada terkait syarat selisih suara maksimal tersebut.

Sederhananya, formulasi penghitungan dalam Pasal 6 ayat (3) PMK 5/2015 itu. Misalnya dalam suatu daerah, berdasarkan jumlah penduduknya ditetapkan selisih suaranya paling banyak 2%. Maka penghitungannya adalah 2% dikali dengan jumlah perolehan suara terbanyak dari pasangan calon. Kemudian hasilnya nanti dibandingkan dari selisih perolehan suara masing-masing pasangan calon.

Sebagai contoh, misalnya di daerah Y, pasangan calon A memperoleh 100.000 suara dan pasangan calon B mendapat 90.000 suara. Maka 2% dikali 100.000 (perolehan suara paslon A) adalah 2.000.

Angka ini misalnya disebut sebagai nilai koefisien 1. Kemudian, dihitunglah selisih perolehan suara paslon A (100.000) dengan paslon B (90.000), yakni sebesar 10.000. Angka ini misalnya disebut sebagai nilai koefisien 2.

Untuk mengajukan perkara PHPKada ke MK sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 158 UU Pilkada, maka selisih angka nilai koefisien 2 tidak boleh lebih besar dari nilai koefisien 1. Artinya dalam contoh paslon A dan B ini, dengan nilai koefisien 2 di atas nilai koefisien 1, maka paslon B tidak memenuhi syarat untuk mengajukan perkara PHPKada ke MK.

2 dari 2 halaman

MK Salah Kaprah

Namun, peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menilai, MK salah kaprah dalam menafsirkan ketentuan dalam Pasal 158 UU Pilkada yang dituangkan dalam Pasal 6 ayat (3) PMK 5/2015.

Menurut Fadli, selisih suara 2% mesti dimulai dari jumlah suara sah pada suatu daerah yang melaksanakan pemilihan. Total suara sah tentu berada dalam porsi 100 persen jika dipersentasekan --bukan menjadikan perolehan suara terbanyak pasangan calon 100 persen.

Kemudian baru dilihat berapa total suara yang diraih pemenang pemilihan. Jika total suara sah di daerah Y berjumlah 200.000 dan paslon A memperoleh 100.000 suara, maka syarat 2% itu dikalikan dengan 200.000 suara sah, bukan dengan 100.000 suara milik paslon A yang jadi pemenang pilkada.

"Total suara yang diraih oleh pemenang pemilihan ini kemudian dipersentasekan dari total suara sah di daerah pemilihan tersebut," ujar Fadli.

Baru kemudian hasil 2% dikali total suara sah 200.000, didapatkan 4.000 suara. Hitungannya kemudian, hasil perbedaan perolehan suara antara paslon A dan B tidak boleh lebih besar dari 4.000 suara itu.

Kalau lebih besar, maka tidak memenuhi syarat. Jika selisihnya di bawah 4.000 suara, maka memenuhi syarat pengajuan PHPKada ke MK.

Video Terkini