Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah resmi disahkan DPR.
Namun sejumlah poin dalam UU Pilkada ini dianggap mengancam independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemlihan Umum (Bawaslu), sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdhanil mengatakan, di antara poin yang mengancam independensi KPU dan Bawaslu, yakni yang mengatur tentang proses penyusunan peraturan KPU (PKPU) dan peraturan Bawaslu.
Di mana dalam Pasal 9 dan Pasal 22 b disebutkan, proses penyusunan PKPU dan Peraturan Bawaslu wajib dikonsultasikan kepada DPR dalam forum rapat dengar pendapat (RDP), yang hasilnya bersifat mengikat.
"Ketentuan ini tentu saja merusak prinsip kemandirian dari kedua lembaga penyelenggara pemilu ini," kata Fadli dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, (5/6/2016).
Baca Juga
Dengan adanya peraturan itu, Fadli menganggap, bisa menjadi celah bagi DPR untuk memasukan kepentingan politik tertentu dalam PKPU dan peraturan Bawaslu.
Padahal, kata dia, KPU dan Bawaslu memiliki kewenangan membuat peraturan terkait ketentuan dan mekanisme pemilu.
"Belum lagi yang sifatnya ini mengikat. Ini berpotensi besar akan membuat deadlock pembahasan PKPU dan peraturan Bawaslu nanti," ujar dia.
Karena itu, Fadli meminta KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait poin tersebut.
Pasal 9 (a) Undang Undang Pilkada yang baru disahkan DPR pada 2 Juni 2016 berbunyi: tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan meliputi menyusun dan menetapkan Peraturan KPU (PKPU) dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.