Liputan6.com, Jakarta - DPR telah mengesahkan revisi UU Pilkada pada Kamis, 2 Juni 2016. Meski telah disahkan, masih banyak pihak yang tak puas dengan hasil revisi UU tersebut. Hal ini terkait keberadaan sejumlah pasal yang dinilai memberatkan.
Koordinator Muda-mudi Ahok, Ivanhoe Semen menilai aturan itu merugikan calon independen.
"Memang ada pasal yang merugikan," tutur Ivanhoe, dalam diskusi Pertarungan Politik Pilkada, di Jakarta, Sabtu (11/6/2016).
Ivanhoe menilai, aturan dalam UU Pilkada terlalu berpusat di Jakarta. Aturan itu sulit dilaksanakan di daerah-daerah lain karena adanya masalah keterjangkauan.
"‎Kalau bicara pilkada di daerah lain, tidak semua seperti di DKI Jakarta. Dalam waktu 3 hari kalau tidak bisa hadirkan pendukung, itu gugur," jelas Ivanhoe.
Pengamat Komunikasi Politik Lely Arriane menilai, pasal-pasal dalam UU Pilkada itu, adalah upaya DPR untuk menjegal calon perseorangan, termasuk calon petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Meski demikian, jika persiapan dilakukan dengan baik, upaya tersebut tidak akan berhasil.
"Gimana pun ini suatu jalan menjegal. Kalau tanda tangan itu benar, KTP itu benar, cara jegal gimana pun tidak akan sampai," ujar Lely.
Pasal yang dimaksud Lely adalah Pasal 48 UU Pilkada yang mengatur, jika pendukung calon perseorangan tidak dapat ditemui Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam verifikasi faktual di alamatnya, pasangan calon diberi kesempatan menghadirkan mereka ke kantor PPS dalam waktu tiga hari, terhitung sejak PPS tidak dapat menemui mereka. Ketika dalam batas waktu tersebut tidak dipenuhi maka dukungan dicoret.
UU Pilkada untuk Jegal Ahok?
Koordinator Muda-mudi Ahok, Ivanhoe Semen, menilai aturan dalam UU Pilkada terlalu Jakarta sentris.
Advertisement