Sukses

Kisah Ahok Diserang Isu SARA Sejak Pilkada Bangka Belitung

Juhri menegaskan, menggunakan isu agama untuk pencerahan dan menyudutkan lawan politik, merupakan dua hal berbeda.

Liputan6.com, Jakarta - Persidangan kasus penistaan agama yang mendakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berlanjut. Ahok sendiri sudah meminta maaf atas pernyataannya pada September tahun lalu, ketika menyatakan pesaingnya menggunakan ayat Alquran untuk mencegah warga memilih pemimpin yang bukan Islam.

Akibat ucapan tersebut, Ahok dijerat pasal penistaan agama dan kasusnya kini telah bergulir di meja persidangan dan telah memasuki sidang ke 14.

Sidang ke-14 perkara penistaan agama yang mendakwa Basuki Tjahaja Purnama, digelar di auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan.

Dalam sidang lanjutan tersebut menghadirkan tiga saksi fakta yakni Juhri, mantan Panwas Bangka Belitung, Suyanto, mantan sopir, dan Fajrun, kawan kecil Basuki Tjahaja Purnama, dan satu saksi ahli dari Fakultas Hukum UGM Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M. Hum, ahli hukum Pidana.

Saksi yang meringankan dalam sidang ke-14 perkara penistaan agama yang mendakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yaitu Juhri, mengungkapkan jika isu agama dan suku sudah digunakan oleh para lawan politik saat Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur Provinsi Bangka Belitung.

Juhri merupakan Ketua Panwas kabupaten Bangka Belitung, ketika Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur Provinsi Bangka Belitung tahun 2007.

Juhri, penilik Dinas P dan K Kab. Belitung, Provinsi Bangka Belitung, mengungkapkan kala itu ia menjumpai banyak selebaran di jalan-jalan dan juga di masjid-masjid, berisikan tentang ayat-ayat Alquran, yang meminta agar tidak memilih pemimpin non muslim.

"Selebaran itu berisikan surat Al-Maidah 51, surat An-Nisa, serta Al-Hujarat 13, yang menganjurkan tidak memilih pemimpin non-muslim," ungkap Juhri.

Pengacara Ahok, Josefina A Syukur juga mengungkapkan, selebaran yang kerap dijumpai di jalan-jalan dan masjid di Bangka Belitung, bukan berasal dari ulama melainkan lawan politik Ahok yang berusaha mencari kekuasaan.

"Orang-orang yang menyampaikan ayat-ayat dan menyampaikan selebaran itu, bukan ulama, tapi para politikus yang mencari kekuasaan dengan berlindung di balik agama," ungkap Josefina A Syukur.

Ketika mengikuti Pilgub Bangka Belitung pada 2007, Ahok saat itu didukung 16 partai kecil dan hanya mampu meraih peringkat kedua di bawah Alm. H. Eko Maulana Ali, yang saat itu berpasangan dengan Ketua DPRD Belitung Syamsudin Basari yang mendapat dukungan koalisi PBB, PKS, PAN dan Partai Demokrat.

Mereka saat itu berhasil meraih suara 180.401 suara. Sementara Ahok yang berpasangan dengan Eko Cahyono berada di urutan kedua dengan perolehan 166.561 suara.

Pasangan Ahok – Eko Cahyono menyatakan, ada penghilangan suara secara sistematis pada pelaksanaan Pilgub Bangka Belitung 22 Februari 2007 lalu. Akibatnya, terdapat 206.944 pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya. Namun Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan pasangan Ahok dan Eko Cahyono.

Juhri menganggap kasus yang menimpa Ahok saat ini, bukanlah suatu hal mengherankan. Terlebih saat Pilkada DKI Jakarta, Ahok kerap disudutkan mengenai agama dan sukunya.

"Menggunakan isu SARA untuk menyudutkan dan menyerang lawan politik jelas melanggar undang-undang," ucap Juhri.

Dalam kesempatan persidangan ke 14 perkara penistaan agama yang mendakwa Ahok, Jaksa Penuntut Umum mengajukan pertanyaan kepada Juhri, apakah Gus Dur yang juga menggunakan isu SARA sebagai juru kampanye saat Ahok mencalonkan diri sebagai Gubernur, tidak melanggar undang-undang?

Juhri menegaskan, menggunakan isu agama untuk pencerahan dan menyudutkan lawan politik, merupakan dua hal yang berbeda.

Menurutnya, kala itu Gus Dur menggunakan isu agama justru untuk memberikan pencerahan kepada warga yang ketika itu hadir mengikuti kampanye monologis.

"Gus Dur tidak menggunakan isu agama untuk menyudutkan lawan politik, namun untuk memberi pencerahan pada warga," ungkap Juhri.