Liputan6.com, Jakarta Calon Gubernur dan Wakil Gubernur nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat, dalam setiap kesempatan berbicara, mereka kerap memaparkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DKI Jakarta yang selalu meningkat setiap tahunnya. Bahkan IPM tersebut selalu lebih tinggi dari IPM nasional.
Bila merujuk berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, selama empat periode Gubernur DKI yang memimpin Provinsi DKI Jakarta, yaitu Sutiyoso, Fauzi Bowo, Joko Widodo dan Ahok, terlihat tren peningkatan IPM di DKI Jakarta. Pada akhir kepemimpinan periode pertama Gubernur DKI Sutiyoso (2002), IPM Jakarta sudah mencapai
75,60, lebih tinggi dari IPM nasional yang mencapai 65,80.
Pada akhir kepemimpinan periode kedua Gubernur DKI Sutiyoso di tahun 2007, angka IPM di DKI Jakarta mencapai 76,59, lebih tinggi dibandingkan IPM nasional sebesar 70,59. Kemudian pada saat akhir kepemimpinan Gubernur DKI Fauzi Bowo di tahun 2012, angka IPM Jakarta meningkat sebesar 77,53, sementara IPM nasional hanya 67,70.
Advertisement
Ketika masa akhir kepemimpinan Gubernur DKI Joko Widodo (2014), IPM di Jakarta sudah mencapai 78,39 yang juga jauh lebih tinggi dibandingkan angka IPM nasional yang hanya mencapai sebesar 68,90. Di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok, ternyata BPS mencatat besaran IPM di DKI Jakarta pada tahun 2015 mencapai 78,99. Sedangkan besaran IPM nasional mencapai 69,55.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di atas, Ahok-Djarot dapat bangga, karena mereka terbukti mampu mempertahankan angka IPM untuk terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Meningkatnya IPM ini, tentunya tidak terlepas dari program pembangunan dan peningkatan kesejahteraan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI selama masa pemerintahan Ahok-Djarot.
Ahok mengatakan program pembangunan yang dilakukan Pemprov DKI selama ia pimpin lebih pro kepada warga DKI Jakarta yang kurang mampu. Namun diakui Ahok, ia tidak ingin memberikan bantuan uang tunai bagi warga
yang tidak mampu tersebut.
“Terus saya tanya mau bantu berapa sih orang miskin? Rp 400.000 sebulan katanya. Gimana nentuin orang miskin untuk bantuan tunai? Saya yakin kalau ditanya sama orang yang dianggap miskin di Jakarta, kamu mau terima Rp 400.000 sebulan atau anak anda semua dapat KJP? SMA Rp 600.000, kalau punya tiga anak dapat Rp 1,8 juta. Jadi bantuan kami lebih besar daripada yang ditawarkan. Kami ini pro orang miskin, tapi kami juga atas nama keadilan bukan merampok orang kaya. Makanya kita juga bantu mereka dengan baik,” terangnya.
Ahok kerap menjalankan program yang meringankan kebutuhan hidup warga Jakarta, seperti memberikan akses pendidikan gratis dengan program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Program ini sendiri tidak hanya membantu siswa dari keluarga tak mampu agar bisa membeli keperluan sekolah, namun juga dapat meningkatkan gizi mereka. KJP ini juga berlaku untuk para santri warga Jakarta yang menempuh pendidikan di pondok pesantren di kota-kota yang ada di luar Jakarta.
Adanya Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) yang diperuntukkan siswa pemegang KJP yang diterima di perguruan tinggi manapun di seluruh wilayah Indonesia. Setiap bulannya mereka akan menerima dana beasiswa sebesar Rp 1,8 juta per bulan yang akan ditransfer hingga empat tahun masa kuliah.
Kemudian Ahok-Djarot juga memberikan akses layanan kesehatan gratis bagi warga DKI Jakarta melalui BPJS Kesehatan atau Kartu Jakarta Sehat. Dengan adanya program ini, warga dengan mudah mengakses layanan
kesehatan yang murah namun memiliki kualitas tinggi. Mereka tidak perlu lagi kesulitan mencari dokter, karena sudah ada program Ketuk Pintu Layani dengan Hati yang dilakukan puskesmas kecamatan dan kelurahan.
Selain mensejahterakan para pelajar, dan warga kurang mampu, Ahok-Djarot juga tak lupa dengan warga lansia yang ada di Jakarta. Ahok meluncurkan program Kartu Jakarta Lansia (KJL) untuk warga senior yang tidak mampu. Nantinya, mereka akan diberikan dana setiap bulannya sebesar Rp 600.000 per bulan melalui transfer rekening bank.
Dana tersebut dapat digunakan untuk membeli makanan dan minuman bergizi serta vitamin bagi lansia yang kurang mampu. Sehingga mereka dapat tetap hidup layak, dengan baik dan berkualitas seperti warga DKI Jakarta lainnya.
Djarot Saiful Hidayat menegaskan tidak dapat dipungkiri Indeks Pembangunan Manusia di DKI Jakarta paling tinggi di Indonesia. Ada tiga indikator utama IPM yang tinggi. Pertama, tingkat harapan hidup. Semakin panjang harapan hidup, maka seseorang akan semakin sejahtera. Karena tidak gampang sakit. Kedua, lanjut Djarot, tingkat pendidikan.
“Ketiga, kehidupan yang layak. Semakin layak kehidupan seorang manusia di suatu wilayah, maka IPM akan naik. Ingat IPM sebagai dampak kegiatan pembangunan di suatu wilayah. Karena ini data bukan dari kami, dari BPS,” terang Djarot.
Terkait KJL, Djarot mengatakan, program ini telah sesuai dengan visi dan misi Ahok-Djarot yang ingin pembangunan Jakarta berpusat pada manusia. Program ini diharapkan bisa menaikkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jakarta dalam dua tahun kedepan.
“Kalau sekarang kan IPM Jakarta baru mencapai 78,9. Nah kita berharap dua tahun ke depan sudah bisa 80,” paparnya.
(*)