Sukses

Cerita Pedagang Pasar di Kupang Tentang Mama Emi yang Merakyat

Para politikus yang mendadak turun ke rakyat menjelang pemilu, sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Di musim kampanye, para politikus tersebut kerap melakukan pencitraan agar terkesan merakyat dengan harapan bisa meraih suara yang signifikan.

Liputan6.com, Kupang- Para politikus yang mendadak turun ke rakyat menjelang pemilu, sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Di musim kampanye, para politikus tersebut kerap melakukan pencitraan agar terkesan merakyat dengan harapan bisa meraih suara yang signifikan.

Namun hal itu tidak belaku bagi Emellia Julia Nomleni atau yang kerap disapa Mama Emi. Calon Wakil Gubernur NTT nomor urut 2 ini sudah dikenal jauh-jauh hari oleh rakyat NTT, khususnya Kota Kupang, tempat tinggalnya.

Saat kami mengunjungi Pasar Oeba, Kota Kupang, Sabtu (24/3), hampir semua pedagang di sana mengenal Mama Emi.

"Saya tahu dan kenal Mama Emi. Pedagang di sini hampir semua kenal," kata Frans Ati (61) yang sudah berjualan pinang dan sirih lebih dari 20 tahun di Pasar Oeba.

Walau belum ada kandidat yang berkampanye ke pasar itu, Frans itu cukup tahu siapa sosok calon wakil gubernur dari paket Marianus Sae-Mama Emi (MaMa) tersebut.

"Karena Pasar Oeba ini tempat Mama Emi biasa belanja," ujar Frans.

Frans berasal dari Timor Tengah Selatan (TTS), kabupaten di mana Mama Emi menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan. Tepatnya di Desa Op, Kecamatan Nunkolo.

Bapak tua itu mengatakan, kondisi Kota Kupang tentu berbeda dengan desanya yang belum ada listrik, meski jalan dan air sudah cukup baik.

"Mama Emi sebagai seorang ibu dan calon wakil gubernur pasti tahu kebutuhan itu. Kami harap dia naik dan bantu banyak orang," harap Frans.

Raim (25), pemuda penjaga warung di Pasar Oeba, juga mengenal sosok Mama Emi. Bahkan, warga desanya di Kecamatan Molo Utara, Kabupaten TTS, sudah terpikiat dengan pasangan calon nomor 2 ini.

"Saya punya orang di kampung, sebagian besar mengaku memilih paket nomor 2," ujar Raim sambil mengunyah sirih.

Di Kecamatan Molo Utara, kata Raim, listrik dan jalan sudah cukup baik. Hanya saja, jalan masih cukup parah.

"Kalau muat pisang masak dari kampung pakai oto, sampai sini sudah rusak, karena jalannya rusak parah. Kalau waktu hujan, jalannya tambah parah," keluhnya.

"Saya tentu sangat berharap Mama Emi bisa naik dan bantu kami bikin jalan yang bagus," imbuhnya.

Tidak hanya para pedagang Pasar Oeba, pengunjung pun rata-rata sudah akrab dengan sosok Mama Emi. Misalnya saja, Dangki (49), pria asal Kota Kupang yang kesehariannya sebagai wirausaha.

"Secara emosional, kami ada kedekatan dengan Mama Emi. Ini saya akui dengan jujur. Terkhusus bagi pemuda Ebenhezer," katanya.

Mama Emi di mata Dangki adalah sosok yang tidak hanya hadir dalam kegiatan politik, namun juga dalam kegiatan-kegiatan gereja.

"Sudah dari dulu dekat dengan rakyat. Bukan menunggu ajang pilkada baru merapatkan diri dengan masyarakat. Kami tahu baik sosoknya. Dalam kegiatan kami, dia selalu hadir dan memberikan bantuan. Dan itu tanpa pamrih," katanya.

Sebagai seorang yang terus bergelut dalam dunia kerohanian, Dangki megaku tahu seberapa besar kualitas dari pasangan Marianus Sae ini.

"Dia selalu menanggapi segala masalah dengan elegan. Saya tahu kualitasnya. Dia adalah seorang pemimpin," puji Dangki.

2 dari 2 halaman

Mengenal Kesederhanaan Emi Nomleni, Perempuan Hebat NTT

Sekilas tidak ada yang berbeda dari rumah bercat hijau itu. Sama seperti rumah lain di pinggir Jalan Cak Doko, Kota Kupang, rumah itu seakan menyerap semua kebisingan ibukota NTT.

Satu-satunya yang membuat berbeda adalah spanduk di depannya yang bertuliskan 'Marianus Sae-Emilia Nomleni (MaMa). Ya, rumah sederhana itu adalah tempat tinggal Mama Emi, sapaan akrab Cawagub NTT tersebut.

"Ini rumah tua warisan Bapak dan Mama," kata Ivony Christina Nomleni, kakak kandung Mama Emi, di rumah yang tak jauh dari SMAN 1 Kupang, Rabu (22/3/2018).

Beberapa bagian di dinding rumah bercat hijau itu pun tampak sudah retak. Sungguh rumah yang sangat sederhana jika dibanding tempat tinggal para pejabat atau politisi lain.

"Kita bukannya tidak mau rehab. Tapi kita mau suasana rumah ini terlihat alami, seperti sewaktu masih ada Bapak dan Mama," kata Ivony.

Walau sederhana, isi rumah ini lebih ramai dari yang dibayangkan. Di rumah tak lebih dari 200 meter persegi itu, Mama Emi tinggal bersama sepuluh saudaranya. Ada juga anak-anak asuh yang tinggal bersama.

Layaknya rumah seorang politikus, ada juga tempat untuk berkumpul dan rapat. Tempat yang sekarang banyak digunakan relawan MaMa itu pun hanya disanggah oleh bambu berwarna kuning. Sementara di bagian luar rumah didirikan tenda sampai ke tempat berjualan di pinggir jalan.

Yanti (45), ibu penjual gorengan di depan rumah Mama Emi, becerita kesederahaan politisi perempuan PDI Perjuangan itu juga tampak dari kehidupannya sehari-hari. Dia mengenang, sewaktu terjadi banjir di Noelmina, Mama Emi tampil berbeda saat mengunjungi lokasi bencana.

"Karena situasi mendadak dan darurat, Mama Emi pergi mengenakan celana pendek. Sampai di sana, sebagian besar pejabat lain mengenakan pakaian yang sangat rapi," kata Yanti sambil tertawa.

Yanti yang sudah berjualan 18 tahun di depan rumah Mama Emi juga senang jika perempuan berambut putih tersebut pergi ke pasar. Sebab, dia akan membeli sesuatu ke pedagang dengan sama rata.

"Maksudnya kalau membeli lima kilogram daging, dia akan membeli di lima penjual. Masing-masing satu kilo. Biar semua rasa," kata Yanti.

"Sebagai seorang pedagang, saya merasakan betul kesenangan yang dirasakan para pedagang pasar itu," imbuhnya sambil tertawa.

Selain kesederhanaan, Mama Emi juga tidak berubah dalam memegang adat dan budaya Timor. Hal ini tampak dari buah-buah pinang yang berhamburan di dapur rumahnya.

"Dia (Mama Emi) tetap mengingat budaya dan kebiasaan kami. Lempengan buah pinang itu memberi arti kami tetap hidup dalam rumah yang selalu memegang teguh budaya dan adat istiadat kami," kata Ivony.

Sejak kecil, Mama Emi juga selalu hidup dalam keberagaman. Hal inilah yang membuat perempuan 52 tahun itu selalu mengedepankan pluralisme dan kebhinekaan dalam setiap perjuangan politiknya.

"Bapak kami dari suku Timor, Mama dari Kupang. Kami biasa mendiskusikan sesuatu dengan sikap terbuka. Kami tidak pernah memaksa sesuatu kepada yang lain untuk diikuti. Kami belajar itu dari kecil," kata Ivony.

"Jadi dari dulu, kami sudah alami indahnya keberagaman."

Meski disibukkan dengan urusan politik, Mama Emi yang sudah dua periode menjadi anggota DPRD NTT ini ternyata masih memerhatikan kebutuhan-kebutuhan detail dalam rumah. Dia juga masih suka memasak untuk saudara-saudara dan anak-anak asuhnya.

"Kalau pagi-pagi, dia biasa cek, apakah teh sudah disiapkan untuk anak-anak atau belum. Karena di rumah banyak orang, biasanya kami siapkan teh dalam ceret besar. Biar semua bisa dapat. Emi biasa cek hal-hal begitu," ujar Ivony.

"Walau sudah jadi anggota Dewan, dia tetap memasak, sebelum ke kantor. Masak juga harus dalam porsi banyak," kata Inovy sambil tertawa.

Sosok Mama Emi yang penuh terobosan dan perhatian membuat saudara-saudaranya tidak terlalu heran jika pada akhirnya Emi mencapai sebuah posisi yang baik dalam karier politiknya.

"Sekarang ini dia maju (Pilgub NTT), bagi kami biasa saja. Karena kita tahu jiwa pemimpin ada padanya dari dulu. Dia mau jadi bupati atau apa, kita tidak heran. Kalau kembali ke rumah, kita berkumpul lagi dan merasa tidak ada jarak," imbuhnya.