Liputan6.com, Jakarta - Direktur Bidang Milenial Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Bahlil Lahadalia menepis argumen kubu Prabowo-Sandiaga yang meminta agar ekonomi Indonesia harus kembali ke Pasal 33 dan UUD 1945 karena saat ini tak sesuai dengan cita-cita bangsa.
"Itu yang dimaksud dengan pasal itu kan koperasi. Memang dari Presiden pertama sampai SBY, menjalankan itu? Jadi itu roh dalam membangun negara. Bahwa betul keinginan itu, keinginan kita semua. Kalau belum terjadi maksimal, iya. Jadi enggak benar bahwa kita enggak melakukan itu. Buktinya koperasi masih ada," ucap Bahlil di Posko Cemara, Jakarta, Jumat (12/10/2018).
Baca Juga
Ketua Umum Badan Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) ini meminta agar semuanya menggunakan basis data dan perbandingannya. Jangan asal bunyi atau asbun.
Advertisement
"Ngomong itu harus ada perbandingannya. Jangan asbun, asbun saja. Nanti pusing kita. Lama-lama kita pabrik asbun. Kita enggak mau jadi negara asal bunyi itu," tutur Bahlil.
Dia menuturkan, salah satu bentuk yang diperhatikan Jokowi dalam menjalankan amanat UUD 1945, adalah memperhatikan UMKM. Dia memperbandingkan dengan yang terjadi saat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Zaman SBY, bunga UMKM mencapai 20-an persen. Bayangkan di tahun 1998 krisis ekonomi, inflasi kita 86 persen. Defisit ekonomi kita 13 persen, cadangan devisa kita itu 17 miliar dollar AS. Dimana waktu itu pengusaha-pengusaha besar dan pengusaha-pengusaha koperasi sebagian melarikan diri dan mempailitkan diri," kata dia.
Bahlil mengatakan, yang menjadi penyangga ekonomi waktu itu adalah UMKM. Tapi saat ekonomi surplus, di zaman pemerintahan sebelumnya, bunga UMKM mencapai 21 persen.
Di zaman pemerintahan Jokowi-JK, lanjut dia, dipangkas dari 21 persen, kemudian pada 2016 menjadi 12 persen.
"Pertanyaan berikut siapa berpihak kepada rakyat kecil? UMKM itu masyarakat, kita. Kampung-kampung, di desa-desa, di kecamatan, saya coba yang tidak berpihak? Jadi Pak Jokowi berpihak pada rakyat kecil dalam UMKM ketimbang yang lain. Aku bisa memperdebatkan itu," kata Bahlil.
Â
Â
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pandangan Keliru
Bahlil juga menyebut keliru jika Jokowi disebut tak menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945. Salah satu buktinya berani mengambil alih Freeport.
"Aku mau tanya di pemerintahan sebelumnya berani ambil enggak? Waktu yang bersangkutan itu menjadi apa dan segala macam, kenapa itu tidak diambil? Justru di tahun 1991 diperpanjang padahal waktunya belum masuk diperpanjang. 51 persen diambil, sekalipun dengan berbagai macam perdebatan," kata Bahlil.
Dengan hal tersebut, dia menyebut nasionalisme Jokowi tak perlu diragukan lagi.
"Artinya apa? Nasionalisme Pak Jokowi tak perlu diragukan. Kemudian beberapa konsesi-konsesi minyak yang sudah selesai, beliau take over, ambil alih oleh BUMN kita, Pertamina. Terus yang seperti apa lagi yang dimaksudkan oleh mereka?," tanya Bahlil.
Soal adanya investasi asing yang masuk, menurutnya adalah konsekuensi logis. "Negara kita kan negara yang tidak tertutup seperti negara lain. Selama saling menguntungkan kenapa tidak? Tetapi beliau juga tahu ada hal prinsip yang harus diambil oleh negara untuk kemakmuran negara," pungkas Bahlil.
Sebelumnya, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak meminta ekonomi Indonesia harus kembali ke Pasal 33 dan UUD 1945. Menurutnya, ekonomi saat ini tak sesuai dengan cita cita bangsa.
Dahnil melihat banyak kepemilikan asing yang berlebihan terhadap pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Kemudian sektor keuangan dan perbankan juga dikuasai oleh perusahaan asing.
Dahnil berujar, kepemimpinan saat ini pelit bicara soal kedaulatan ekonomi, apalagi mengimplementasikannya. Dia menyayangkan BUMN yang mestinya mampu menjadi pertahanan ekonomi Indonesia dan mendorong akselerasi pembangunan tanpa mengganggu sektor swasta, menjadi 'sapi perahan' kepentingan kelompok politik tertentu. Sehingga tidak maksimal menjadi pertahanan ekonomi domestik.
Advertisement