Liputan6.com, Jakarta - Analis Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Syamsuddin Haris memandang Golput (Golongan Putih) tak punya hak memprotes kebijakan calon yang terpilih setelah Pemilu. Pasalnya, Golput tak menggunakan hak suaranya untuk menentukan nasib bangsa.
"Teman-teman yang golput, sebetulnya tidak memiliki hak untuk menggugat atau ikut serta ambil bagian dalam kehidupan politik 5 tahun setelah Pemilu. Jadi tidak punya hak menuntut kenapa begini? Kenapa begitu? Sebab dia tidak ambil bagian di dalamnya," ujar dia di Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2019).
Menurutnya, mengkritisi hal tersebut penting. Dia tak ingin para Golput di tengah jalan tiba-tiba menuntut kebijakan publik yang tak adil. "Kenapa pembangunan ekonomi melenceng? nggak punya hak untuk itu sebab dia tidak ikut memutuskan. Siapa yang memperoleh mandat atau mewakilinya dalam 5 tahun berikutnya," ucap Syamsuddin.
Advertisement
Baginya, tak ada argumen atau alasan cukup rasional untuk Golput dalam konteks demokrasi. Dia bercerita, Golput muncul pada tahun 1970 untuk menyongsong Pemilu 1971. Golput, kata dia, bertujuan untuk menolak kebijakan rezim otoriter Presiden RI ke-2 Soeharto yang memobilisasi, mengintimidasi, dan cenderung menutup peluang munculnya kekuatan oposisi.
"Pertanyaannya apakah kehidupan politik kita saat ini menutup peluang bagi oposisi? menutup peluang bagi perbedaan? apakah ada intimidasi mobilisasi dalam memilih? saya bisa katakan tidak ada, sehingga tidak ada alasan yang cukup untuk golput," paparnya.
"Apalagi misalnya kekecewaan pada calon presiden itu juga walaupun sah tidak masuk akal. Si A tidak bagus, si B katakanlah masa tidak bagus juga? mestinya salah satunya ada yang lebih bagus walaupun keduanya tidak bagus. Jadi ada peluang untuk ikut ambil bagian supaya kita punya hak menggugat nanti ketika pemerintah 5 tahun berlangsung," sambungnya.
Menurutnya, sikap Golput tidak memiliki perspektif yang jelas lantaran tak mempunyai tujuan kedepan. Hak politik Golput, kata dia, juga berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab jika tak menggunakan suaranya.
"Setelah Golput lalu apa? ini penting supaya apa? supaya setiap pilihan politik kita itu ada targetnya, ada tujuannya," ujar Syamsuddin.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Faktor Golput
Syamsuddin Haris menyebut salah satu faktor Golput disebabkan faktor teknis. Misalnya pemilih tak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Pertama adalah pemilih tidak masuk dalam DPT daftar pemilih tetap maupun DPTb, daftar pemilih tambahan. Kedua, pemilih itu masuk DPT dan juga masuk DPTb tapi tidak punya KTP El, KTP elektronik. Mungkin saja KPPS nya tidak paham walaupun sudah masuk DPT atau DPTb tapi gak punya KTP, ditolak di TPS bisa saja," papar Syamsuddin.
Kemudian, faktor selanjutnya, sebagian masyarakat tak mau kehilangan penghasilan pada hari pencoblosan pada tanggal 17 April. Biasanya, kata Syamsuddin para pedagang tetap memilih mencari upah dan pegawai yang tak dapat izin cuti.
"Misalnya yang tukang dagang, buruh kecil, dan lain sebagainya tidak mau kehilangan penghasilan hanya untuk mencoblos. Yang selanjutnya ada pegawai kecil yang tidak mendapat cuti atau izin dari kantor," terangnya.
Faktor Golput selanjutnya disebabkan jarak lokasi TPS yang jauh di pelosok. Untuk mencapai TPS pun mesti mengeluarkan ongkos dan biaya. "Daripada mengeluarkan biaya untuk mencoblos dan dia nggak tahu dampaknya, mendingan tidak hadir," jelasnya.
Menurut Syamsuddin, faktor teknis lebih condong menyebabkan masyarakat Golput ketimbang alasan politik karena tak suka dengan calon calon yang ikut pemilu. Dia pun melihat, dari hasil survei publik, faktor Golput karena alasan politik relatif sedikit.
"Kenapa, sebab yang lebih banyak yang tidak memilih karena faktor non politik non politik atau alasan yang sifatnya teknis, tata kelola Pemilu," tandasnya.
Â
Reporter:Â Muhammad Genantan Saputra
Advertisement