Sukses

Terungkap, Maksud SBY Tulis Surat Sebut Kampanye Akbar Prabowo Tak Lazim

Dalam suratnya, SBY menyebut bahwa kampanye Prabowo-Sandiaga tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif.

Liputan6.com, Jakarta - Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menjelaskan surat yang dibuat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kampanye akbar Prabowo Saubianto-Sandiaga Uno bukan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, melainkan sebagai bapak bangsa dan Presiden ke-6 RI.

Dalam suratnya, SBY menyebut bahwa kampanye Prabowo-Sandiaga tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif.

Surat itu, kata AHY, bermaksud untuk mengingatkan agar tidak mengulangi kejadian masa lalu. "Kemarin itu Pak SBY bukan sebagai ketum, tapi sebagai bapak bangsa atau negawaran, sebagai mantan presidem yang ingin terus mengingatkan kita semua agar lebih baik jalannya. Jangan mengulangi apa yang tidak baik di masa lalu," kata AHY di Rumah Makan Taman Sari, Solo, Jawa Tengah, Senin (8/4/2019).

Dia menjelaskan, SBY ingin memberikan pandangan saat memimpin pada 10 tahun yang lalu. Dia menegaskan jangan sampai Pemilu 2019 menjadi semakin menjurus pada polarisasi, sehingga membenturkan satu sama lain.

"Jadi sebenarnya itu pesan mulia yang disampaikan Pak SBY, mengingatkan kita semuanya, mengingatkan Demokrat," ungkap AHY.

Dia juga tidak mempersalahkan terkait surat tersebut sudah tersebar ke publik. Sebab, menurut putra sulung SBY ini, masyarakat perlu tahu agar tidak terpecah belah dalam pengaruh politik yang sifatnya sesaat.

"Jadi, kalau misalnya ditanya apakah publik perlu tahu, sehingga lebih banyak yang tahu mungkin lebih bagus lagi. Supaya kita semuanya semakin memiliki kesadaran jangan sampai sekali lagi kita semua terpecah-belah hanya karena pertarungan politik yang sifatnya sesaat saja," ungkap AHY.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Alasan Tak Hadir

AHY menepis kabar absennya di kampanye akbar Prabowo-Sandiaga lantaran adanya surat dari SBY terkait konsep kampanye yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno pada Minggu, 7 April. Putra sulung SBY tersebut mengatakan tidak ada larangan untuk menghadiri kampanye tersebut.

"Tidak sama sekali. Saya ini adalah pribadi yang mandiri. Jadi, tidak pernah ada larangan dari siapa pun, termasuk dari orangtua sendiri," kata AHY.

Dia menjelaskan, SBY sebagai orangtua tidak pernah melarang. Dan selalu memberikan keluasaan anak-anaknya dalam mengambil keputusan serta melakukan apa pun.

"Pak SBY itu selalu memberikan keluasaan bagi anak-anaknya mengambil keputusan, dalam melakukan hal apa pun. Karena Beliau juga percaya kami semua punya pertimbangan yang baik," kata AHY.

Dia juga menjelaskan, alasannya tidak hadir lantaran kurang sehat. Sebab, setelah melakukan safari politik di Yogyakarta pada Kamis, 4 April, ia langsung terbang menuju ke Singapura untuk menengok kondisi ibunya, Ani Yudhoyono, yang sedang sakit.

"Padahal sebenarnya saya sudah mengejar untuk bisa hadir di kampanye akbar di Jakarta. Malam harinya saya terbang ke Jakarta last flight, tapi saya merasa badan saya kurang fit, akhirnya saya tidak bisa memaksakan diri," ungkap AHY.

3 dari 3 halaman

Isi Surat SBY

Berikut isi lengkap surat SBY:

Kepada yang terhormat

1. Ketua Wanhor PD Amir Syamsudin

2. Waketum PD Syarief Hassan

3. Sekjen PD Hinca Panjaitan

BismilahirrahmanirrahimAssalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhSalam Sejahtera

Salam Demokrat !

Sebenarnya saya tidak ingin menggangu konsentrasi perjuangan politik jajaran Partai Demokrat di tanah air, utamanya tugas kampanye pemilu yang tengah dilakukan saat ini, karena terhitung mulai tanggal 1 Maret 2019 yang lalu saya sudah memandatkan dan menugaskan Kogasma dan para pimpinan partai untuk mengemban tugas penting tersebut. Sungguhpun demikian, saya tentu memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan agar kampanye yang dijalankan oleh Partai Demokrat tetap berada dalam arah dan jalur yang benar, serta berlandaskan jati diri, nilai dan prinsip yang dianut oleh Partai Demokrat. Juga tidak menabrak akal sehat dan rasionalitas yang menjadi kekuatan partai kita.

Sore hari ini, Sabtu, tanggal 6 April 2019 saya menerima berita dari tanah air tentang "set up", "run down" dan tampilan fisik kampanye akbar atau rapat umum pasangan capres-cawapres 02, Bapak Prabowo Subianto-Bapak Sandiaga Uno, di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, melalui sejumlah unsur pimpinan Partai Demokrat saya meminta konfirmasi apakah berita yang saya dengar itu benar. Malam hari ini, saya mendapat kepastian bahwa informasi yang didapat dari pihak lingkaran dalam Bapak Prabowo, berita yang saya dengar itu mengandungi kebenaran.

Sehubungan dengan itu, saya minta kepada Bapak bertiga agar dapat memberikan saran kepada Bapak Prabowo Subianto, Capres yang diusung Partai Demokrat, untuk memastikan hal-hal sebagai berikut:

Penyelenggaraan kampanye nasional (dimana Partai Demokrat menjadi bagian didalamnya) tetap dan senantiasa mencerminkan "inclusiveness", dengan sasanti "Indonesia Untuk Semua" Juga mencerminkan kebhinekaan atau kemajemukan. Juga mencerminkan persatuan. "Unity in diversity". Cegah demonstrasi apalagi "show of force" identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuasa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrim.

Pemilihan Presiden yang segera akan dilakukan ini adalah untuk memilih pemimpin bangsa, pemimpin rakyat, pemimpin kita semua. Karenanya, sejak awal "set up"nya harus benar. Mindset kita haruslah tetap "Semua Untuk Semua" , atau "All For All". Calon pemimpin yang cara berpikir dan tekadnya adalah untuk menjadi pemimpin bagi semua, kalau terplih kelak akan menjadi pemimpin yang kokoh dan insya Allah akan berhasil. Sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan identitas atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, atau yang menarik garis tebal "kawan dan lawan" untuk rakyatnya sendiri, hampir pasti akan menjadi pemimpin yang rapuh. Bahkan sejak awal sebenarnya dia tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin bangsa. Saya sangat yakin, paling tidak berharap, tidak ada pemikiran seperti itu (sekecil apapun) pada diri Pak Jokowi dan Pak Prabowo.

Saya pribadi, yang mantan Capres dan mantan Presiden, terus terang tidak suka jika rakyat Indonesia harus dibelah sebagai "pro Pancasila" dan "pro Kilafah". Kalau dalam kampanye ini dibangun polarisasi seperti itu, saya justeru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya. Kita harus belajar dari pengalaman sejarah di seluruh dunia, betapa banyak bangsa dan negara yang mengalami nasib tragis (retak, pecah dan bubar) selamanya. The tragedy of devided nation. Saya pikir masih banyak narasi kampanye yang cerdas dan mendidik. Seperti yang kita lakukan dulu pada pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014. Bangsa kita sangat majemuk. Kemajemukan itu disatu sisi berkah, tetapi disisi lain musibah. Jangan bermain api, terbakar nanti.

Para kader pasti sangat ingat, Partai Demokrat adalah partai Nasionalis-Relijius. Bagi kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah harga mati. Tidak boleh NKRI menjadi Negara Agama ataupun Negara Komunis. Indonesia adalah "Negara Pancasila" dan juga "Negara Berke-Tuhanan". Inilah yang harus diperjuangkan oleh Partai Demokrat, selamanya.

Saya berpendapat bahwa juga tidak tepat kalau Pak Prabowo diidentikkan dengan kilafah. Sama tidak tepatnya jika kalangan Islam tertentu juga dicap sebagai kilafah ataupun radikal. Demikian sebaliknya, mencap Pak Jokowi sebagai komunis juga narasi yang gegabah. Politik begini bisa menyesatkan. Sejak awal harusnya narasi seperti ini tidak dipilih. Tetapi sudah terlambat. Kalau mau, masih ada waktu untuk menghentikannya.

Dari pada rakyat dibakar sikap dan emosinya untuk saling membenci dan memusuhi saudara-saudaranya yang berbeda dalam pilihan politik, apalagi secara ekstrim, lebih baik diberi tahu , apa yang akan dilakukan Pak Jokowi atau Pak Prabowo jika mendapat amanah untuk memimpin Indonesia 5 tahun mendatang (2019-2024). Apa solusinya, apa kebijakannya? Tinggalkan dan bebaskan negeri ini dari benturan indentitas dan ideologi yang kelewat keras dan juga membahayakan. Gantilah dengan platform, visi, misi dan solusi. Tentu dengan bahasa yang mudah dimegerti rakyat. Sepanjang masa kampanye, bukan hanya pada saat debat saja.

Demikian Pak Amir, Pak Syarief dan Pak Hinca pesan dan harapan saya. Ketika saya menulis pesan ini, saya tahu AHY berada dalam penerbangan dari Singapura ke Jakarta, setelah menjenguk Ibu Ani yang masih dirawat di NUH. Partai Demokrat harus tetap menjadi bagian dari solusi, dan bukan masalah. Selamat berjuang, Tuhan beserta kita.

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Singapura, 6 April 2019

Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.

 

Reporter: Intan Umbari Prihatin