Sukses

Tim Hukum Jokowi Nilai Prabowo Keliru Kutip Opini Tim Lindsey

Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengutip pandangan Prof. Tim Lindsey dengan menyebut Jokowi sebagai rezim otoriter dan Neo Orde Baru.

Liputan6.com, Jakarta - Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengutip pandangan Indonesianis dari University of Melbourne, Prof. Tim Lindsey dengan menyebut Jokowi sebagai rezim otoriter dan Neo Orde Baru. Namun, Tim Hukum Jokowi menilai kubu Prabowo keliru mengutip tulisan Opini tersebut.

"Pemohon telah secara serampangan dan keliru mengutip pandangan Prof. Tim Lindsey. Tulisan Lindsey sebagaimana terlihat dari judulnya 'Is Indonesia Sliding Towards a Neo New Order?' merupakan tulisan opini singkat yang bersifat pertanyaan. Tidak ada jawaban tegas terkait pertanyaan dalam judul yang diungkapkan olehnya," kata Kuasa Hukum Jokowi, I Wayan Sudirta di Ruang Sidang MK, Selasa (18/6/2019).

Tulisan yang dibuat pada 2017 itu, jelasnya, merespons beberapa kejadian politik di Indonesia yang dianggapnya sebagai tantangan bagi Jokowi hingga 2 tahun ke depan, saat Pemilu 2019. Lindsey justru memprediksi kelompok civil society akan tetap memilih Jokowi jika dihadapkan pada pilihan memilih dirinya atau Prabowo Subianto sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam tulisannya:

"After all, if former general Prabowo Subianto runs again against him, most of civil society will have little chance but to stick with Jokowi…".

"Dalil Pemohon ini karenanya bersifat asumtif dan tidak tepat sebagaimana dimaksud oleh penulisnya sendiri, dan karenanya merupakan tindakan tidak etis secara intelektual serta tidak patut secara hukum," ujar dia.

Berdasarkan hal ini, sambung dia, maka beralasan bagi Mahkamah untuk mengenyampingkan dalil Tim Hukum Prabowo-Sandi itu. "Bahwa berdasarkan pada uraian tersebut di atas, dalil-dalil Pemohon tidak memiliki dasar secara hukum dan karenanya patut untuk dinyatakan ditolak oleh Mahkamah," tegas Sudirta.

Tim hukum Jokowi pun membacakan bantahan langsung yang disampaikan Tim Lindsey sebagaimana disampaikan juga kepada Tim Pihak Terkait dan telah dipublikasikan di media massa, yakni:

"Artikel saya TIDAK ditulis tentang Pemilu. Itu ditulis tahun 2017. Tim hukum Prabowo yang memasukkan kutipan dari artikel saya dalam permohonannya: 1) diambil keluar dari konteks. 2) berisi penekanan (penebalan, garis bawah, dll) yang tidak asli, dan 3) tidak mendukung argumen yang mereka katakan.

Dalam artikel saya, saya hanya mendiskusikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Jokowi di 2017. Saya TIDAK mengatakan Jokowi otoriter, sebagaimana klaim tim hukum Prabowo, dan saya TIDAK mengatakan terdapat kecurangan dalam Pemilu.

Tim hukum Prabowo TIDAK mendiskusikan penggunaan artikel saya dengan saya, dan mereka TIDAK pernah meminta persetujuan. Saya tidak ada kaitannya dengan persiapan kasus Prabowo.

Tim hukum Jokowi telah memeriksa artikel saya. Mereka mengumumkan secara publik melalui Arsul Sani, salah satu anggota tim Jokowi, bahwa artikel tersebut tidak sesuai dengan yang diklaim tim Prabowo. Tim hukum Jokowi setuju bahwa saya telah disalahkutipkan/disalahgunakan oleh tim hukum Prabowo.

Salam, Tim Lindsey".

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Minta MK Tak Terima Permohonan Prabowo

Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin menjadi pihak terkait dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 yang dimohonkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam eksepsinya, Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf yang dipimpin Yusril Ihza Mahendra meminta majelis hakim MK menyatakan permohonan Prabowo-Sandi tak dapat diterima.

"Sudah cukup kiranya alasan bagi Majelis Hakim Konstitusi yang Mulia, untuk menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadili Permohonan Pemohon, sehingga beralasan hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)," ungkap Yusril di Ruang Sidang MK, Senin (18/6/2019).

Ia menguraikan, berdasarkan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 disebutkan, MK berwenang dan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi ditegaskan kembali bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Meskipun yang menjadi objek perkara dalam Permohonan yang diajukan Pemohon adalah Penetapan Hasil Pemilu Secara Nasional, sambung Yusril, namun Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu pada pokoknya mengatur bahwa permohonan keberatan terhadap hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

"Adanya kata 'hanya' dalam ketentuan pasal tersebut demi hukum membatasi cakupan substansi hal yang dapat dipermasalahkan ke Mahkamah Konsitusi yakni terbatas hanya pada hasil perolehan suara," jelas Yusril.

Hal ini, lanjutnya, sejalan dengan ketentuan Pasal 75 huruf a UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.

Lebih jauh, MK juga mengatur dalam Pasal 8 ayat (1) poin b angka 4 dan 5 PMK 4/2018 tentang apa saja yang harus dimuat dalam Permohonan Pemohon. Dalam pokok permohonan ditentukan pemuatan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon dan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon, sedangkan di dalam Petitum dimuat adanya permohonan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar menurut Pemohon (Prabowo-Sandi).