Sukses

HEADLINE: Komisioner KPU Jadi Tersangka Suap, Pilkada 2020 Dijamin Bersih?

Secara mentalitas, kasus suap Wahyu Setiawan pasti terpengaruh. Pasti ada sinisme kepada KPU, terutama menyangkut integritas KPU.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengaku bingung. Di hadapan awak media yang merubung di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan, dia tak berusaha menutupi keheranannya setelah Komisioner KPU Wahyu Setiawan ditangkap KPK.

Koleganya itu ditangkap dan jadi tersangka atas dugaan menerima suap dalam proses pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR dari Fraksi PDIP. Masalahnya, dia sama sekali tidak bisa mencium gelagat jahat Wahyu sejak awal.

"Saya tidak tahu bagaimana dia 'main'," kata Arief di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (9/1/2020) lalu.

Arief memang layak gusar, karena ulah Wahyu bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap KPU yang tahun ini akan menggelar Pilkada Serentak 2020. Namun, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, kasus ini bisa berdampak pada dua hal.

"Kepercayaan akan menurun kalau kemudian KPU larut dalam peristiwa ini tanpa bisa mengambil langkah-langkah strategis, tanpa bisa meyakinkan publik bahwa mereka akan berbenah dan melakukan perbaikan-perbaikan guna memperkuat dan membersihkan organ KPU," ujar Titi kepada Liputan6.com, Jumat (10/1/2020)

Sebaliknya, lanjut dia, KPU bisa menggunakan momentum Pilkada 2020 untuk mengembalikan kepercayaan publik.

"Caranya, dengan memastikan bahwa jajaran KPU bekerja secara benar, terbuka, profesional menjaga agar tidak terjadi kecurangan maupun penyimpangan oleh internal mereka. Jadi KPU justru mendapatkan momentum untuk lebih cepat memulihkan kepercayaan publik kepada institusi mereka melalui Pilkada 2020," ujar Titi.

Sama seperti lembaga lainnya, dia mengakui KPU juga punya titik-titik di mana sangat rentan akan godaan dari pihak luar. Ada sejumlah fase dalam tugas KPU yang memungkinkan pihak luar menjanjikan sesuatu guna memuluskan keinginan mereka.

"Pertama ketika rekrutmen petugas penyelenggaraan pilkada, KPU itu punya kewenangan untuk melakukan rekrutmen untuk anggota TPK dan TPS. Beberapa peristiwa kan melibatkan komisioner dalam praktik rekrutmen petugas pelaksana dan itu bisa rentan disusupi praktik suap, walaupun tidak sebesar kasus OTT ini," jelas Titi.

Yang kedua, lanjut dia, saat pencalonan anggota legislatif atau kepala daerah. Apalagi kalau dalam proses pencalonan itu ada figur-figur bermasalah yang berusaha untuk menekanan agar bisa lolos dan figur itu mempunyai pengaruh kuat di daerah.

"Contoh, ijazahnya bermasalah, juga kesehatannya, sehingga tidak mampu membuat dia bekerja sesuai tupoksi UU atau hal-hal lain. Tapi yang kebanyakan tuh kasusnya ijazah. Kita punya pengalaman dalam kasus Garut," ujar Titi.

Yang ketiga, menurut dia terjadi saat rekapitulasi suara, misalnya ada upaya untuk menyuap agar terjadi pengaturan perolehan suara di pilkada.

 

Infografis Komisioner KPU Wahyu Setiawan Ditangkap (Liputan6.com/Triyasni)

Agar potensi kerawanan pada tiga tahapan itu tak menjadi kenyataan, menurut dia penting bagi KPU untuk melakukan evaluasi atas sistem integritas KPU yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menyeluruh.

"Sistem integritas itu ada dua, bagaimana tata kelola internal untuk memastikan bahwa praktik tata kelola organisasi berjalan dengan profesional dan bersih. Yang kedua, bagaimana pola relasi dengan pihak eksternal yang juga rentan untuk dimanipulasi atau terjadinya praktik koruptif," jelas Titi.

Dengan semua catatan itu, lanjut dia, apakah penetapan Wahyu sebagai tersangka kasus suap akan mengurangi legitimasi Pilkada 2020 atau tidak, itu bergantung penuh pada bagaimana KPU merespons kasus tersebut.

"Tergantung bagaimana KPU mengonsolidasikan organisasi penyelenggaraan pemilu dalam merespons ini. Secara mentalitas pasti terpengaruh. Pasti ada sinisme kepada KPU, terutama menyangkut integritas KPU. Karena itu, KPU harus betul-betul bersih, secara person, kelembagaan dan kebijakan," ujar Titi memungkasi.

Pandangan berbeda datang dari Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily. Dia menegaskan tidak terlalu yakin masyarakat akan menaruh ketidakpercayaan pada KPU. Dia beralasan, apa yang terjadi terhadap Wahyu Setiawan tidak mencerminkan perilaku dari penyelenggara pemilu secara umum.

"Jadi, saya kira ada sistem yang dapat mengganti (Wahyu Setiawan) secara cepat agar yang bersangkutan segera diberhentikan sebagai Komisioner KPU," ujar Ace kepada Liputan6.com, Jumat (10/1/2020).

Selain itu, lanjut dia, KPU itu tidak bergantung pada satu atau dua orang, tetapi kepada regulasi yang mengatur semua proses penyelenggaraan pemilu atau pilkada.

"Saya kira, dengan terungkapnya kasus suap ini tentu akan jadi pelajaran yang menunjukkan, bahwa proses penyelenggaraan pemilu itu sebenarnya diawasi Bawaslu dan DKPP. Dalam konteks pidana seperti korupsi dan suap sekarang juga ada KPK yang mengawasi," papar Ace.

Bahkan, lanjut dia, justru dengan adanya kasus Wahyu Setiawan semakin menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu tidak bisa berperilaku tercela karena yang mengawasi banyak.

"Jadi, saya kira Pilkada 2020 tidak akan terpengaruh ya. Kan Saudara Wahyu jika terbukti berdasarkan keputusan pengadilan dia bersalah, harus segera diganti dengan komisioner terpilih selanjutnya," ujar jelas Ace.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Akhir Karier di Bandara

Perkara ini berawal dari proses Pileg 2019. Sebelum pileg digelar, caleg PDIP Dapil Sumsel 1 bernama Nazaruddin Kiemas meninggal dunia sebelum pencoblosan. Adik ipar mantan presiden kelima Megawati Soekarnoputri itu meninggal dunia di Jakarta pada Selasa 26 Maret 2019.

Meski demikian, nama anggota DPR Komisi VII dari Fraksi PDI Perjuangan yang juga menjabat Ketua Umum Banteng Muda Indonesia itu tak bisa lagi diganti lantaran namanya sudah ada di daftar caleg tetap PDIP pada Pemilu 2019. Dan, dari hasil rekapitulasi KPU, nama Nazaruddin memperoleh suara terbanyak di dapilnya.

Konsekuensinya, dia tetap menjadi caleg terpilih namun harus dicarikan penggantinya untuk duduk di DPR. Istilahnya, harus ada pergantian antar-waktu (PAW). PAW anggota legislatif (DPR/DPRD/DPD) adalah hal yang lazim. Seorang anggota dewan bisa diganti dengan pelbagai alasan di awal atau tengah masa jabatannya.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 2 Tahun 2010 menyebutkan, PAW DPR adalah proses penggantian anggota DPR yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh calon pengganti Antarwaktu dari Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dari parpol dan daerah pemilihan yang sama.

Diatur pula PAW anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan mekanisme serupa. Seluruh pengganti diambil dari DCT pemilu terdahulu yang masih memenuhi persyaratan calon berdasarkan verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menindaklanjuti PAW untuk Nazaruddin Kiemas, DPP PDIP memerintahkan DON mengajukan permohonan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019. DON diduga merujuk pada sosok Doni, seorang pengacara yang juga caleg PDIP.

"Awal Juli 2019 salah satu pengurus DPP PDIP memerintahkan DON mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara. Pengajuan gugatan materi ini terkait dengan meninggalnya Caleg Terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas pada Maret 2019," ujar Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/1/2020) malam.

Permohonan tersebut kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019. Pada putusannya, MA menetapkan partai adalah penentu suara dalam penggantian antar-waktu (PAW).

PDIP lalu mengirim surat ke KPU guna menetapkan Harun Masiku (HAR) sebagai pengganti Nazarudin Kiemas. Harun merupakan caleg PDIP Dapil I Sumatera Selatan dengan nomor urut 6 yang meliputi Kota Palembang, Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, dan Kota Lubuklinggau.

Tapi, dalam rapat pleno 31 Agustus 2019, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti mendiang Nazarudin Kiemas. Riezky Aprilia sendiri dalam Pemilu 2019 mendapat perolehan suara sebesar 44.420 atau kedua terbesar setelah Nazarudin.

Namun, putusan KPU tak mematahkan semangat Harun Masiku. Untuk mendorong yang bersangkutan menjadi PAW, Saeful Bahri (SAE) yang diduga staf khusus di DPP PDIP menghubungi orang kepercayaannya yang juga mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina (ATF) guna melakukan lobi.

Agustiani pun menjalin komunikasi dengan Wahyu Setiawan. Wahyu dinilai menyanggupi permintaan tersebut dengan memberi jawaban, "Siap, mainkan!" Konon, sang Komisioner KPU meminta dana operasional Rp 900 juta.

"Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian," ujar Lili.

Pemberian dana tersebut terjadi pada pertengahan dan akhir Desember 2019. Pada pemberian pertama, salah satu sumber dana memberikan Rp 400 juta untuk Wahyu melalui Agustiani, Doni dan Saeful. Kemudian Wahyu disebutkan menerima uang lagi dari Agustiani sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.

Lalu, pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saeful sebesar Rp 850 juta lewat salah seorang staf di DPP PDIP. Saeful memberikan uang Rp 150 juta kepada Doni. Kemudian, sisanya Rp 700 juta yang masih di Saeful dibagi jadi Rp 450 juta pada Agustiani, di mana Rp 250 juta untuk operasional.

"Dari Rp 450 juta yang diteria ATF, sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk WSE, Komisioner KPU. Uang masih disimpan oleh ATF," kata Lili.

Tapi, pada 7 Januari 2020, Rapat Pleno KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal.

"Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, WSE kemudian menghubungi DON menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar HAR menjadi PAW," ujar Lili.

Selanjutnya, pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya di ATF. Pada saat itulah, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan.

"KPK kemudian mengamankan Wahyu dan RTO (asisten Wahyu) di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (8/1/2020) sekitar pukul 12.55 WIB," ujar Lili.

Kemudian secara paralel, tim terpisah KPK mengamankan Agustiani di rumah pribadinya di Depok pada pukul 13.14 WIB. Dari Agustiani tim mengamankan uang setara dengan sekitar Rp 400 juta dalam bentuk mata uang dolar Singapura dan buku rekening yang diduga terkait perkara.

Tim lain mengamankan kader PDIP Saeful dan advokat Doni, dan I (sopir Saeful) di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta Pusat pukul 13.26 WIB. Terakhir, KPK mengamankan IDA dan WBU yang merupakan keluarga Wahyu di rumah pribadinya di Banyumas.

"Delapan orang tersebut dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut," ujar Lili.

Seketika itu pula, karier Wahyu meredup. Usai penetapan dirinya sebagai tersangka, Wahyu menyatakan segera mengundurkan diri sebagai anggota KPU.

"Dengan saya telah ditetapkan sebagai tersangka, maka dalam waktu segera saya akan mengundurkan diri sebagai anggota KPU," tulis Wahyu dalam surat yang ia sampaikan seusai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (10/1/2020) dini hari.

3 dari 3 halaman

Para Pendahulu Wahyu

Wahyu Setiawan bukanlah satu-satunya Komisioner KPU yang pernah berurusan dengan KPK. Jauh sebelum Wahyu, sejumlah nama kondang juga punya nasib serupa. Mereka diduga menggadaikan jabatan untuk kemudian dicokok KPK dan berakhir di penjara.

Berikut nama Komisioner KPU yang pernah terjerat korupsi terkait kepemiluan:

1. Nazaruddin Syamsuddin

Nazaruddin merupakan Ketua KPU periode 2001-2005. Dia terlibat kasus korupsi pengadaan asuransi petugas Pemilu 2004 dan pengelolaan dana rekanan KPU. Akibatnya, negara merugi Rp 14,1 miliar.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonisnya tujuh tahun penjara pada 14 Desember 2005. Juga membayar denda Rp 300 juta dan uang pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Kepala Biro Keuangan KPU kala itu, Hamdani Amin.

Tiga tahun berselang, Maret 2008, Nazaruddin bebas bersyarat.

2. Mulyana Wira Kusumah

Mulyana merupakan kolega Nazaruddin. Menjabat Wakil Ketua KPU 2001-2007. Dia merupakan terpidana kasus suap pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Tokoh Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini dinyatakan bersalah. Lantaran menyuap Anggota BPK, Khairiansyah Salman, Rp 250 juta. Dengan maksud merekayasa laporan investigasi terkait pengadaan kotak suara.

Atas perbuatannya, Mulyana divonis dua tahun tujuh bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan. Hukuman ini lebih rendah dari tuntutan jaksa sebesar tiga tahun kurungan dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan.

Mulyana menghembuskan napas terakhir pada 1 Desember 2013 akibat komplikasi stroke dan asma.

3. Daan Dimara

Daan merupakan Komisioner KPU periode 2001-2007. Tersandung kasus rasuah pengadaan segel surat suara Pemilu 2004. Negara pun merugi sekitar Rp 3,5 miliar.

Pada 15 September 2006, Daan divonis empat tahun dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. Dirinya lantas mengajukan banding. Namun, putusan Pengadilan Tinggi serupa dengan amar putusan tingkat pertama.

Tak puas, Daan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Nahas, permohonannya ditolak.

4. Rusadi Kantaprawira

Rusadi adalah Komisioner KPU periode 2001-2005. Dinyatakan bersalah dalam kasus pengadaan tinta Pemilu 2004. Turut melibatkan Komisioner KPU, Achmad Rojadi.

Pengadilan menganggapnya bersalah, karena terbukti memperkaya diri sendiri dan korporasi. Sehingga, merugikan negara sebesar Rp 4,6 miliar.

Dia divonis hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan. Juga dijatuhi hukuman tambahan berupa membayar uang pengganti Rp 1,3 miliar.

Rusadi lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Hukumannya pun diperingan dengan menghapus pidana tambahan.

Dia pun pernah mengajukan kasasi ke MA. Namun, permohonannya ditolak.

Selain komisioner, sejumlah pejabat KPU juga pernah divonis bersalah terkait pelaksanaan Pemilu 2004.

Mereka yang divonis antara lain Wasekjen KPU Susongko Suhardjo yakni 2 tahun 6 bulan penjara dan Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin yaitu 4 tahun penjara. Wakil Kepala Biro Keuangan Mohammad Dentijk turut divonis. Dia dihukum 18 bulan penjara.

Jumlah komisioner KPU tingkat daerah yang pernah divonis penjara jauh lebih banyak. Kasus-kasus korupsi oleh pejabat KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota kerap terjadi mengenai pengadaan barang.

 

Â