Sukses

Jelang Pemilu 2024, SMRC Sebut Parpol dan Politisi Berebut Ingin Dekat NU

Bedah politik SMRC menyebutkan banyak partai politik dan politkus Indonesia yang berebut ingin menjadi atau disebut sebagai anggota Nahdlatul Ulama (NU), terlebih jelang Pemilu 2024.

Liputan6.com, Jakarta Bedah politik SMRC menyebutkan banyak partai politik dan politkus Indonesia yang berebut ingin menjadi atau disebut sebagai anggota Nahdlatul Ulama (NU), terlebih jelang Pemilu 2024.

Pendiri SMRC Saiful Mujani menyebutkan, daya tarik NU, adalah pada jumlah massa yang dimilikinya. Dia menunjukkan bahwa dalam survei SMRC pada Desember 2022, warga yang mengaku sebagai anggota aktif NU sebanyak 8,6 persen dan mengaku sebagai anggota tapi tidak aktif sebesar 11,7 persen.

“Total warga yang mengaku sebagai anggota NU sebesar 20,3 persen. Sementara yang mengaku sebagai anggota serikat pekerja, buruh, dan tani sebanyak 14,7 persen; Muhammadiyah 3,1 persen; organisasi masjid 22,8 persen; dan majelis taklim sekitar 28,7 persen,” kata dia dikutip dari keterangannya, Jumat (17/2/2023).

Kalau dilihat dari sisi jumlah massa, kata dia, NU sangat signifikan. Satu-satunya partai yang bisa mendapatkan suara sebesar massa NU (sekitar 20 persen) adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

“Dilihat dari sisi jumlah, NU sangat penting secara elektoral. Ini yang menjelaskan mengapa banyak partai dan tokoh-tokoh politik Indonesia menghitung NU. Semuanya bahkan ingin merasa dekat dan sebagai orang NU,” ungkap Saiful.

Dia menegaskan bahwa daya tarik NU bagi partai politik di Indonesia adalah karena organisasi ini memang memiliki massa yang besar. Yang mengaku sebagai anggota formal NU sebesar 20,3 persen atau sekitar 40-an juta warga.

Angka ini, menurut dia, di luar warga yang secara kultural mengikuti praktik ritual keagamaan NU. Kalau kelompok kultural itu digabungkan, maka massa NU akan menjadi lebih besar.

“Kalau dilihat dari data ini, memang NU memiliki nilai elektoral karena dari sisi jumlah sangat besar,” katanya.

Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa bicara tentang hubungan NU dan organisasi lain dengan Pemilu, tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan mengenai seberapa besar massa dari organisasi tersebut.

Hal lain adalah bahwa organisasi sosial yang cukup besar dan aktif serta dikenal oleh masyarakat selama ini adalah organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi lain seperti buruh, tani, atau nelayan.

“Di Indonesia, organisasi berbasis keagamaan lebih kuat dari bentuk-bentuk organisasi lain yang lintas agama. Karena itu, perlu dihitung seberapa besar kekuatan masing-masing organisasi tersebut, termasuk NU,” katanya.

 

2 dari 2 halaman

Sejarahnya

Saiful menjelaskan bahwa dalam Pemilu 1955, NU menjadi pemenang nomor tiga. Ketika itu Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lebih kuat dari NU.

Hanya saja, Masyumi sangat heterogen atau terdiri dari banyak kelompok Islam. Sementara NU homogen dan khas. NU, menurut dia, adalah subkultur Islam di Indonesia yang sangat solid.

Sementara Masyumi tidak memiliki basis ormas. Berbeda dengan Masyumi, NU adalah partai dan ormas sekaligus. Antara partai NU dan Ormas NU identik. Saiful menuturkan alasan kenapa organisasi keagamaan lebih kuat dibanding organisasi yang memiliki sifat yang umum.

Jika dilihat dari kelas menengah bawah yang menjadi basis dari organisasi buruh, mestinya jumlahnya lebih banyak. Namun kenyataannya, partai yang menyuarakan aspirasi buruh dan petani, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI), justru tidak mendapatkan suara besar pada Pemilu 1955. Suaranya bahkan di bawah NU.

“Sejarah politik Indonesia, lebih berhubungan dengan politik aliran, bukan organisasi yang lebih sekuler atau kelas sosial,” ungkap Saiful.

Ia menyebut, meski PKI coba membawa sentimen kelas, tapi kalah oleh sentimen aliran. Yang terkuat saat itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI).

Dan PNI, lanjut Saiful, tidak terlalu membawa sentimen kelas, yang dominan pada partai ini adalah aliran.

“Lebih kuatnya politik aliran, yang membuat mengapa organisasi seperti NU lebih kuat dibanding organisasi lain seperti kelompok buruh,” kata dia.

Dia menegaskan, di zaman Orde Baru, NU dihilangkan peran politiknya. Kekuatan politiknya digembosi oleh Orde Baru karena tahu NU itu besar. Kalau politiknya terbuka, berbahaya untuk rezim karena potensial mengancam. Saiful mengenang bagaimana Gus Dur sadar dengan potensi NU dan kemudian mengerahkan massa sejuta umat. Itu adalah bentuk show of force karena Gus Dur merasa langkah-langkahnya dihalangi.

Namun, kata dia, mungkin Gus Dur juga kurang menyadari bahwa politik waktu itu adalah otoritarian di mana massa memang tidak terlalu penting untuk ditunjukkan.