Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan, pencabutan hak politik terhadap para koruptor adalah dampak dari penyalahgunaan kepercayaan publik oleh para pelaku, khususnya politisi. Karenanya, hukuman pidana tambahan terkait dirasa perlu, guna memitigasi risiko serupa dalam pengambilan keputusan politik di masa mendatang.
"KPK konsisten menuntut pidana tambahan pencabutan hak politik sekalipun sejauh ini Majelis hakim menjatuhkan putusan mencabut hak untuk tidak dipilih dalam jabatan publik bagi para koruptor rata-rata berkisar 3 tahunan setelah menjalani pidana pokok," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Kamis (25/5/2023).
Ali meyakini, pencabutan hak politik adalah bagian efek jera. Maka dalam penentuan syarat pencalonan anggota legislatif sudah seharusnya penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib mengikuti ketentuan norma sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan bakal calon telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan narapidana selesai menjalani pidana pokoknya.
Advertisement
"Pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan sanksi yang berakibat pada penghilangan hak politik kepada pelaku. Ini bertujuan untuk membatasi partisipasi pelaku dalam proses politik, seperti hak memilih atau dipilih, sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan," tegas Ali.
Ali berharap, langkah pencabutan hak politik saat dilakukan sesuai dengan ketentuan maka bisa benar-benar menurunkan tingkat korupsi di Indonesia, karena pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi.
"Instrumen hukum dalam pemidanaan tindak pidana korupsi selain adanya penjara badan sebagai pidana pokok, juga adanya pidana tambahan. salah satuya pencabutan hak politik," Ali menandasi.
KPU Dinilai Buka Celah Eks Napi Korupsi Nyaleg
Sebelumnya diberitakan, KPU dinilai Indonesia Corruption Watch (ICW) dan sejumlah aliansi masyarakat sipil telah membuka celah terhadap eks narapidana (napi) korupsi untuk bisa maju ke ajang pencalonan Pemilu Legislatif 2024 dengan tidak sesuai keputusan MK.
"Kami menyoal tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD (PKPU 10/2023) dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPD (PKPU 11/2023)," kata ICW lewat laman pribadinya, seperti dikutip Selasa 23 Mei 2023.
ICW menilai, tindakan KPU itu dapat dikategorikan sebagai pembangkangan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena membolehkan calon anggota legislatif (caleg) eks napi korupsi melenggang sebelum masa jeda lima tahun sebagai hukuman tambahan pencabutan hak politik pasca pidana pokok kurungan penjara.
"KPU pun menunjukkan sikap permisif terhadap praktik korupsi politik serta memberikan “karpet merah” kepada para koruptor dalam mengikuti pesta demokrasi tahun 2024 mendatang," kritik ICW.
Advertisement
Sumber Persoalan
ICW mengurai, sumber persoalannya ada pada Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023. Dua aturan itu secara sederhana menyebutkan bahwa mantan terpidana korupsi diperbolehkan maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilannya memuat pencabutan hak politik.
"ICW meyakini ada rentetan kekeliruan logika pikir dari KPU menyangkut hal tersebut. Pertama, PKPU, baik untuk calon anggota DPR, DPRD, maupun DPD bertentangan dengan Putusan MK No 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 12/PUU-XXI/2023. Sebab, dua putusan MK itu sama sekali tidak memberikan pengecualian syarat berupa adanya pencabutan hak politik jika mantan terpidana korupsi ingin maju sebagai calon anggota legislatif," kritik ICW.
ICW meyakini, MK mewajibkan bagi mantan terpidana korupsi untuk melewati masa jeda waktu terlebih dahulu selama lima tahun sebelum diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif, tanpa ada pengecualian apapun. Termasuk pencabutan hak politik.
"KPU keliru dalam memahami perhitungan waktu bagi mantan terpidana korupsi yang diperbolehkan ikut dalam kontestasi politik," ICW menandasi.