Liputan6.com, Jakarta - Setelah Guntur Romli, dua orang kader utama Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dwi Kundoyo dan Estugraha, mengundurkan diri dari parpol tersebut lantaran tak terima DPP PSI menerima kunjungan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Dwi dan Estu merasa PSI sudah bermain mata dengan Prabowo yang notabene punya rekam jejak penjahat HAM, menggunakan isu SARA saat Pemilu, hingga banyak menikmati pemerintahan korup saat Orde Baru.
“Saya sekaligus menyatakan mundur sebagai caleg dan keluar dari PSI, dari keanggoataan PSI,” kata Dwi dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, Senin (7/8/2023).
Baca Juga
Dwi menyampaikan dirinya merupakan Caleg PSI dari untuk DPRD DKI Jakarta, sedangkan Estu caleg PSI untuk DPRD Kota Bogor. Dengan pernyataan sikap ini juga, Dwi menyatakan mundur dari proses pencalegan di PSI dan fokus memenangkan Ganjar Pranowo melalui kelompok sukarelawan Ganjarian Spartan.
Advertisement
Dwi menyatakan pihaknya awalnya tertarik berjuang bersama PSI, karena parpol tersebut berdasarkan hasil Rembuk Rakyat yang diadakan pada Oktober 2022, menetapkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden di 2024.
“Namun belum sampai menunaikan amanah organisasi, PSI, saya anggap sudah main mata dengan Prabowo Subianto. Kehadiran Prabowo ke DPP PSI, yang disambut hangat buat saya sudah mencederai semangat dan pandangan perjuangan saya selama ini,” jelas Dwi.
Dwi menerangkan saat menjadi mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa pada 1994, dirinya dan beberapa teman-teman aktivis mendirikan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ).
Dia menyampaikan FKSMJ salah satu kekuatan terbesar mahasiswa pada masa itu yang berhasil menjatuhkan pemerintahan otoriter Soeharto, yang di masanya, Prabowo Subianto mendapat banyak kekebalan melalui praktek KKN.
“Yang kita tahu, isu KKN adalah salah satu pondasi perjuangan mahasiswa saat itu hingga hari ini. Prabowo Subianto banyak menikmati pemerintahan korup orba. Mulai dari karir di militer hingga jejaring bisnis yang mengurita. Saya bersyukur saat TNI memecat Prabowo Subianto dari TNI. Rasa syukur ini menambah besar karena Indonesia lepas dari pemerintahan otoriter yang korup orde baru,” kata dia.
Menolak Prabowo
Dwi juga menyampaikan penolakan dirinya terhadap Probowo Subianto sudah dimulai sejak menjadi anggota HMI pada 1992. Saat itu, dia mengaku menyuarakan keadilan dan kemanusiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Pada pilpres 2014-2019, saya memilih Jokowi, di samping karena rekam jejak dan hasil karya Pak Jokowi yang yahud, satu sisi karena saya menolak Prabowo Subianto menjadi pemimpin di Indonesia. Kenapa? Karena Prabowo dan pengikutnya tidak henti-henti memainkan isu SARA, bergandengan tangan dengan kelompok-kelompok radikal dan intoleransi,” jelas Dwi.
Dwi juga menyebut bahwa sejarah mencatat nama Prabowo Subianto sering disebut sebagai dalang dari penculikan aktivis. “Keluarga korban, yang hingga kini masih mencari keadilan, masih berharap sanak keluarga yang hilang, diculik bisa kembali ke pangkuan keluarga,” tambahnya.
Melihat rekam jejak Prabowo Subianto, kata dia, mulai dari pemerintahan Orde Baru yang ikut menikmati pemerintahan korup dengan penuh KKN, hingga ikut serta dalam dua kali kontestasi presiden (2014 dan 2019), dengan narasi-narasi penuh fitnah dan kebohongan, ditambah lagi dengan mengikut sertakan kelompok intoleran dan radikalis dalam barisannya, menguatkan dirinya untuk berada dalam posisi melawan.
“Menentang dan mengambil sikap untuk pergerakan menolak Prabowo Subianto memimpin negeri yang berbhineka ini,” tegas Dwi.
Advertisement