Liputan6.com, Jakarta Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan, sebanyak 93,5 persen petahana atau anggota legislatif terpilih pada Pileg 2019 maju berkompetisi lagi pada 2024 mendatang.
"Kalau lihat dari potret daftar calon sementara (DCS), itu sekitar 93,5 persen petahana kembali mencalonkan sebagai anggota legislatif. Hanya 37 persen anggota dewan yang tidak mencalonkan," kata Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes saat media briefing di Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).
Baca Juga
Kemudian dari jumlah, sebanyak 90 persen petahana kembali maju di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Bahkan, ada yang lebih dari dua periode maju dan terpilih di dapil yang sama.
Advertisement
"Jadi kalau misalnya dia maju di Jakarta 1 di Pemilu sebelumnya, itu di berikutnya dia masih sama. Jadi mayoritas 90 persen maju di dapil sama," ujar Arya.
Jika dilihat dari nomor urut, sebanyak 53 persen petahana juga maju dengan nomor yang sama.
"Sekitar 53 persen petahana yang kembali maju itu mendapatkan nomor urut yang sama. Sebagian besar caleg-caleg itu nomor urut sama," tambah Arya.
Maka dari itu, Arya menilai akan sulit bagi caleg baru untuk berhasil duduk di parlemen pada 2024 mendatang.
"Itu akan menyulitkan caleg-caleg baru untuk bisa berpartisipasi. Jadi perlu usaha-usaha yang lebih keras dari penantang-penantang untuk bisa mendapatkan kursi karena situasinya begini," kata Arya.Â
Â
Â
Â
Â
Tak Dibahas di DPR
CSIS juga menyoroti soal penyelenggaraan pileg yang kurang mendapati perhatian dari masyarakat dibandingkan pilpres di Pemilu 2024. Padahal, pileg memiliki peran penting untuk menentukan anggota-anggota DPR yang dapat menampung aspirasi rakyat di parlemen.
"Jadi apabila kita menginginkan adanya peningkatan kualitas dari parlemen, maka kita perlu memberikan perhatian terhadap caleg-caleg yang akan berkompetisi," kata Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal.
Nicky menjelaskan, parlemen yang berkualitas ditandai dengan adanya debat politik saat pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) dan menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
Menurutnya, debat politik perlu dilakukan agar isu-isu politik yang seharusnya dibahas secara internal tetap di bahas di DPR.
"Harusnya ini suatu komponen atau suatu isu yang harusnya menjadi isu politik akan tetapi menjadi isu hukum sehingga banyak UU yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini yang mana komponen yang dimohonkan adalah isu politik sebenarnya," ujar Nicky.
Nicky pun mencontohkan soal gugatan batasan umur capres dan cawapres yang seharusnya dibahas parlemen tetapi menjadi pembahasan di MK.
"Contohnya soal ini, batasan umur capres atau cawapres. Sejatinya itu adalah isu politik yang harus dibahas di parlemen. Akan tetapi itu menajdi isu hukum yang dibahas di MK," ucap Nicky.
"Tren ini terus meningkat sehingga tren ini disebut judisasi politik. Jadi MK ditarik untuk membahas isu politik," sambung Nicky.
Akibatnya, Nicky menilai MK bisa berpotensi untuk bekerjasama dengan pihak lain yang ingin memuluskan tujuan politiknya.
"MK kerap kali memiliki potensi terkooptasi karena yang harusnya dibahas itu hukum, konstitusionalitas, tapi membahas isu politik yang harusnya menjadi perdebatan di parlemen," tambah Nicky.
Â
Reporter: Lydia Fransisca/Merdeka.com
Advertisement