Sukses

KPU Tak Revisi PKPU Tentang Syarat Capres-Cawapres, Tetap Ikuti Amar Putusan MK

Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan revisi Peraturan KPU (PKPU) tentang syarat pencalonan atau pendaftaran calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan revisi Peraturan KPU (PKPU) tentang syarat pencalonan atau pendaftaran calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.

Menurut dia, pihaknya akan mengeluarkan surat dinas. Di mana, apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) juga langsung berlaku.

“Kan sudah berlaku, bahkan rumusan normanya sudah dirumuskan MK. Ya kita ikuti saja rumusan yang dirumuskan dalam amar putusan MK tersebut,” kata Hasyim di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (18/10/2023).

Adapun surat dinas itu nantinya akan berisikan pemberitahuan pasca adanya putusan MK nomor 90 tahun 2023 bahwa terdapat pengecualian syarat usia 40 tahun bagi bakal calon presiden/wakil presiden yang berpengalaman menajdi kepala daerah atau di legislatif.

Hasyim mengaku, tidak jadi melakukan revisi dan cukup dengan surat tersebut.

"(Pertimbangannya karena waktu) Enggak saya kira kan normanya sudah berlaku sesaat atau pada saat putusan itu dibacakan. Saya kira sudah cukup dengan itu, saya kira semua sudah paham bahwa putusan mk itu berlaku sejak diucapkan," ujarnya.

"Bahkan di dalam amar putusannya kan sudah ada rumusan yang dirumuskan sendiri oleh MK," sambungnya.

Lalu, untuk surat dinas itu bakal diserahkan kepada partai politik peserta Pemilu pada hari ini. "Hari ini (disampaikan ke partai)," ucapnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas.

MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

MK menyatakan, bila permohonan sebelumnya seperti Partai Garuda berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini. Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.

"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.

2 dari 4 halaman

Saldi Isra Jengkel

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra meluapkan rasa jengkelnya lewat penyampaian perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dikabulkannya uji materil Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu), yakni isi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berubah frasa menjadi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.

Saldi Isra kemudian membandingkan amar Putusan a quo dengan petitum yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 90/PUU- XXI/2023. Sebagaimana termaktub dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menyatakan, "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun", dimaknai menjadi "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Sementara itu, petitum permohonan a quo hanya memohon, "Menyatakan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 berusia paling rendah 40 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai dengan atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota."

"Secara tekstual, yang dimohonkan bersyarat adalah berusia paling rendah 40 tahun untuk dibuat alternatif atau dipadankan dengan, atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Lalu, mengapa amarnya bergeser menjadi 'atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah?'," ujar Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). 

3 dari 4 halaman

Ada Catatan Tebal

Dalam hal ini, menurut Saldi, adalah benar bahwa frasa "kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota", sebagaimana amar permohonan adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum alias elected official.

Tetapi perlu diberi catatan tebal, lanjut Saldi, tidak semua jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum adalah kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota.

"Berkenaan dengan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang tidak boleh tidak harus dimunculkan: bisakah lompatan nalar tersebut dibenarkan dengan bersandar pada hukum acara, yang secara prinsip hakim harus terikat dan mengikatkan dirinya dengan hukum acara?," ucap dia.

"Sependek yang bisa dipahami, hakim dapat sedikit bergeser dari petitum untuk mengakomodasi permohonan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Sepahaman saya, celah untuk sedikit bergeser hanya dapat dilakukan sepanjang masih memiliki ketersambungan dengan petitum alasan-alasan permohonan,”" sambung Saldi.

Hanya saja, kata Saldi, setelah membaca secara menyeluruh Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, alasan permohonan atau petitum pemohon nyatanya jelas hanya bertumpu pada frasa “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. 

4 dari 4 halaman

Mempertanyakan Mahkamah

Saldi pun mempertanyakan alasan para hakim MK bergerak sejauh itu, lantaran hanya berdasarkan pengalaman Gibran.

"Bahkan, secara kasat mata, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menggunakan pengalaman sekaligus keberhasilan Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih atau elected official. Dengan adanya lompatan kesimpulan seperti termaktub dalam amar Putusan a quo, tidak salah dan tidak terlalu berlebihan munculnya pertanyaan lanjutan: haruskah Mahkamah bergerak sejauh itu?," Saldi menandaskan.

 

Reporter: Nur Habibie/Merdeka.com

EnamPlus