Liputan6.com, Jakarta - Politisi Partai Golkar Nusron Wahid menyinggung soal anak-anak Presiden RI-I Soekarno yang dinilainya tidak punya prestasi sehingga tidak bisa menjadikan mereka sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Pernyataan Nusron dilontarkan terkait polemik majunya anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Baca Juga
"Soekarno pun presiden, nggak bisa menjadikan Bu Mega jadi calon wakil presiden, Pak Harto pun nggak bisa. Kenapa? Karena nggak punya prestasi waktu muda itu," kata Nusron dalam diskusi yang digelar Total Politik di Jakarta, Rabu (1/11/2023).
Advertisement
Dalam kesempatan yang sama, Nusron memuji Gibran yang dianggap mampu maju menjadi cawapres karena berani dan punya prestasi. Ia menyebut bahwa majunya Gibran demi menjawab keinginan publik luas yang menginginkan generasi muda untuk menjadi pemimpin-pemimpin nasional.
Terkait hal ini, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menilai perbandingan yang dilontarkan Nusron Wahid tidak tepat. Menurutnya, sistem pemerintahan di era Soekarno dan terutama di era Soeharto yang non-demokratis, justru kental dengan nuansa nepotisme.
“Menurut saya, itu perbandingan yang keliru. Soeharto dan Soekarno berkuasa di sistem non-demokratis. Soekarno mungkin lebih baik dibanding Soeharto dalam persoalan nepotisme. Soeharto, di akhir masa jabatannya sangat kental dengan nepotisme di mana anak-anaknya terlibat dalam kabinet dan monopoli bisnis”, kata Saidiman dalam keterangannya, Jumat (3/11/2023).
Gerakan Reformasi Media Pembendung Aksi Nepotisme
Saidiman menilai gerakan reformasi menjadi media pembendung aksi nepotisme yang menguat di era rezim Orde Baru di bawah Soeharto.
“Kalau tidak ada gerakan reformasi, keluarga Soeharto tak terbendung. Dan itu bisa kembali terjadi sekarang jika tak ada komitmen moral dari Jokowi”, ujarnya.
Terkait penyataan dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menyebutkan seorang pemimpin harus melalui proses panjang dan sulit, Saidiman berpendapat definisi berproses itu tidak bermakna tunggal.
“Apa yang disebut berproses itu tentu definisinya tidak tunggal. Pengkaderan di politik tidak harus melulu dalam bentuk anggota partai. Aktif dalam urusan kemasyarakatan, bisnis, pendidikan, akademik, advokasi sosial dan lain-lain juga bagian dari proses politik secara lebih luas”, terangnya.
Advertisement
Singgung Cara-Cara Tidak Benar dalam Kontestasi Politik
Saidiman menekankan bahwa masalah akan muncul jika kemudian ada cara-cara yang tidak benar dalam proses berkontestasi dalam politik.
“Namun yang bermasalah adalah jika proses masuk kontestasi dilakukan secara tidak benar, misalnya menabrak hukum atau hukum dimanipulasi agar bisa lolos atau mengandalkan pengaruh presiden agar aturan umur diubah di tengah jalan agar lolos jadi calon wakil presiden. Proses itu yang menjadi masalah”, tutupnya.