Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto dalam pilpres 2024 tidak melanggar norma etik hukum.
Menurut pakar hukum tata negara itu, ada perbedaan mendasar antara pelanggaran norma etik dengan pelanggaran norma tentang perilaku atau code of conduct.
Baca Juga
Sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra memberikan klarifikasi terkait perdebatan hukum yang beredar di masyarakat soal norma etik yang lebih tinggi daripada norma hukum.
Advertisement
Dia juga sempat menukil pandangan dalam hukum Islam yang mengatakan jika norma etik bertentangan dengan norma hukum, maka norma hukum bisa dikesampingkan.
Yusril menyebut, narasi seperti itu kini digaungkan sebagai upaya delegitimasi pencalonan Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi pemilu.
Sebab, Wali Kota Solo itulah yang dinilai paling diuntungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Putusan Usia Minimal Capres/Cawapres, yang pada proses penetapannya Ketua MK Anwar Usman dinyatakan melanggar kode etik.
"Keputusan yang diambil Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam kasus Pak Anwar Usman itu berbeda dengan norma etik dalam teori dan filsafat hukum. Peraturan (MKMK) itu dibuat dari derivasi undang-undang, sebagaimana juga peraturan kode etik hakim MK. Karena itu derivasi undang-undang, maka kedudukannya di bawah undang-undang kalau dilihat dari hierarki hukum," kata Yusril dalam keterangannya, Kamis (28/12/2023).
"Harus kita pahami betul (apa yang dilanggar Anwar Usman) adalah code of conduct, norma tentang perilaku, bukan norma mendasar di dalam filsafat hukum. Pengambil keputusan di dewan etik mestinya sadar apa yang mereka lakukan terbatas pada code of conduct, bukan pada norma etik yang ada di teori hukum," papar mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu.
Lebih jauh, Yusril menegaskan, pelanggaran yang menjerat Anwar Usman sama sekali tidak memiliki unsur pidana. Dengan demikian, argumen seputar putusan MK nomor 90 yang tidak lagi relevan telah terbantahkan dengan sendirinya.
"Secara teori hukum, kita tahu kalau terjadi pelanggaran hukum, pasti ada pelanggaran etik. Tapi kalau terjadi pelanggaran etik dalam makna code of conduct, belum tentu ada pelanggaran hukum," jelasnya.
"Jadi kasusnya Pak Anwar Usman dengan Pak Firli di KPK itu sangat berbeda. Karena di kasus Pak Anwar tidak ada tindakan hukum apa pun, maka dewan etik harus bekerja dan memberikan sanksi etik," ujar Yusril.
Â
Putusan MK Final dan Mengikat
Menurut Yusril, jangan dianggap pelanggaran yang diputuskan MKMK terhadap Anwar Usman sebagai pelanggaran etik fundamental dalam filsafat hukum, namun dalam konteks code of conduct dalam menjalankan jabatan tertentu di satu organisasi.
"Dan dari segi hukum, jelas putusan MK adalah final dan mengikat, sehingga tidak akan gugur karena terjadi pelanggaran etik," ujar eks Menteri Sekretaris Negara itu.
Lebih lanjut, Yusril menerangkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak melanggar kode etik karena memproses pencalonan Gibran sebagai cawapres dalam pilpres 2024.
Pernyataan itu disampaikan Yusril merespons komisioner KPU yang dilaporkan ke Dewan Kehormatan Pemilu (DKPP) atas tuduhan membiarkan Gibran mengikuti proses tahapan pencalonan dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum.
Â
Advertisement
KPU Digugat Rp70,5 Triliun karena Terima Pendaftaran Prabowo-Gibran di Pilpres 2024
Seorang akademisi bernama Brian Demas Wicaksono menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dengan diterimanya pendaftaran pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta pilpres 2024.
Gugatan terdaftar dengan nomor perkara: 717/pdt.G/2023/PN. Jkt Pst.
Adapun tergugat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI sebagai turut tergugat I dan Prabowo Subianto sebagai turut tergugat II dan Gibran Rakabuming Raka sebagai turut tergugat III.
"Oh iya benar. Kami mengajukan gugatan ke PN Jakpus," kata penasihat hukum Brian, Anang Suindro saat dihubungi, Rabu (1/11/2023).
Anang mengatakan, kliennya menilai KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut dia, KPU masih PKPU No 19 tahun 2023 pada saat proses penerimaan pendaftaran Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Raka Buming Raka tanggal 25 Oktober 2023.
Di mana pada pasal 13 ayat 1 huruf Q disyaratkan calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun dan belum ada perubahan.
"Nah, kami menilai KPU melanggar peraturan yang dibuat sendiri yaitu melanggar PKPU No 19 tahun 2023. Maka atas perbuatan KPU yang menerima pendaftaran itu kami menilai itu adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU," ujar Anang.
KPU Diminta Bayar Rp70,5 Triliun
Anang mengatakan, kliennya meminta KPU membayar ganti rugi sebesar Rp70,5 triliun. Hitungan nilai kerugian merujuk pada keterangan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan terkait APBN yang digunakan untuk anggaran pemilu sebesar Rp70, 5 triliun.
"Kami menilai ketika dalam proses tahapan yang dilakukan KPU ada cacat hukum atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU maka tentu akan timbul kerugian. Kerugian itu adalah kerugian negara yang jumlahnya Rp70,5 triliun. Kami meminta kalau kemudian gugatan kami dikabulkan oleh PN Jakpus kami meminta KPU dihukum membayar ganti rugi sebesar itu dan nanti akan kita kembalikan kepada negara," ucap Anang.
Anang berharap KPU dalam menyelenggarkan pilpers harus tetap mengedepankan keadilan dan kepastian hukum sehingga tahapan tahapan yang dilakukan oleh KPU itu harus sesuai dengan peraturan.
"Peraturan yang dibuat sendiri yaitu PKPU No 19 Tahun 2023," ucap dia.
Â
Â
PDIP: MK Alami Degradasi Usai Putusan Loloskan Gibran Cawapres
Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Ahmad Basarah mengungkapkan kekecewaannya pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat calon presiden dan wakil presiden yang menjadi polemik di tengah masyarakat.
Basarah menyebutkan bahwa suasana kebatinan masyarakat juga turut kecewa terhadap proses politik hukum yang terjadi di Mahkamah Konstitusi, saat ini. Menurutnya, MK kini telah mengalami degradasi.
"Kalau kita melihat suasana kebatinan publik, kekecewaan publik, terhadap peristiwa politik hukum yang terjadi di Mahkamah Konstitusi," kata Basarah dalam keterangannya, Sabtu (28/10/2023).
"Saya kira bukan hanya menurut pandangan dan pemikiran saya, kekecewaan terhadap kewibawaan lembaga MK yang harusnya menjadi the guardian of constitution, menjadi lembaga penjaga marwah konstitusi kita dan penjaga marwah ideologi bangsa kita, telah mengalami suatu degradasi," sambungnya.
Basarah juga meyakini rasa kekecewaan atas putusan MK itu juga turut dirasakan oleh beberapa Hakim MK yang turut terlibat dalam pembahasan gugatan capres-cawapres tersebut.
Di mana sebelumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyampaikan perbedaan pandangan atau pendapat (dissenting opinion) atas putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK) soal gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Wakil Ketua MPR RI ini mengaku rasa kecewa yang dialaminya digambarkan lewat pakaian dikenakan saat bertemu delegasi CALD Party hari ini. Di mana, Basarah tampak mengenakan seragam partai berwarna hitam, sedangan Sekjen Hasto Kristiyanto serta kader PDIP yang menjadi peserta dalam acara itu tampak mengenakan seragam partai berwarna merah.
"Saya kira pernyataan saya ini juga bukan pernyataan sendiri karena bahkan dari beberapa orang Hakim MK pun membuat pernyataan yang sama, nadanya dengan kekecewaan kesedihan yang saya simbolisasikan dengan baju partai saya yang berwarna hitam ini," jelas Basarah.
Â
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement