Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDIP Aria Bima menyoroti adanya ketentuan izin ke kepolisian bagi lembaga survei yang bermaksud mengambil data sampel Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 di suatu wilayah.
Hal itu pun dinilai menjadi desain penggiringan opini terjadinya satu putaran.
Baca Juga
“Kalau komunikasi yang terkait dengan putaran, saya dengan teman-teman Komisi VI dari 01, memang melihat ada satu desain untuk menggiring opini satu putaran,” tutur Aria di Gedung DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/1/2024).
Advertisement
Menurutnya, izin kepolisian tersebut menjadi langkah pengkondisian survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga, agar hasilnya menunjukkan terjadinya satu putaran dalam Pilpres 2024.
"Kita cermati betul, antar lembaga survei sendiri harusnya dipertemukan untuk menguji dan meneliti juga di dalam mengambil respondennya seperti apa. Kenapa misalnya untuk swing voters itu masih ada juga yang terlalu tinggi. Kenapa justru paslon yang disuruh komentar. Harusnya media baik itu TV One, Kompas, CNN, mempertemukan antar lembaga survei untuk menguji teknologi secara akademis," jelas Aria.
“Nah, mengarah membentuk opini satu putaran lewat lembaga survei itu tampak jelas, sehingga satu putaran yang dibuat oleh lembaga survei," sambungnya.
Aria pun melihat keluhan dari berbagai lembaga survei yang memang murni ingin memotret realitas responden atau sampel di masyarakat suatu wilayah.
"Misalnya untuk bisa terjun menurunkan kuesioner terhadap satu sampel yang sudah ditentukan. Misalnya dalam satu desa, satu RT RW, izin ke kapolsek, kapolsek ke baninkatibmas, semua proses itu waktunya 10 hari sampai keluar izin. 10 hari sudah diketahui titik mana sampel atau responden ang akan dituruni kuesioner yang ada. Ada kecenderungan 10 hari inilah sampel yang akan diambil sudah digarap," ungkapnya.
Aria Bima: Keperluan Izin Membuat Hasil Survei Tak Lagi Akademis
Menurut Aria, keperluan izin ke kepolisian atau bahkan TNI pun membuat survei yang diambil secara ilmiah dan metodologis pun dapat membuat hasil yang keluar tidak lagi akademis. Hingga kemudian opini satu putaran Pilpres 2024 berhasil dipaksakan.
"Dan kami tidak ingin target itu akan diselesaikan dengan ketidaknetralitasan aparat. Misalnya Pak Faisol Pimpinan Komisi VI pendukung paslon 01. Saya Wakil Ketua Komisi VI pendukung paslon 03. Kami bisa berkoordinasi. Kami bisa saling sharing, ini sebenarnya ada kecenderungan seperti apa? Penggiringan opini lewat lembaga survei satu putaran. Sementara, praktik-praktik di lapangan seperti Pak Hasto sampaikan, akan terlihat bagaimana partisipasi publik pada saat paslon turun," bebernya.
“Saya melihat bagaimana Pak Ganjar dan Pak Mahfud, mungkin juga Mas Anies dan Gus Imin ada kecenderungan. 'Tidak masuk akal kalau melihat partisipasi publik papa saat kehadiran para paslon di publik ini, kemudian diset jadi satu putaran’. Itu yang menurut kami ada kecenderungan desain ini sering kami komunikasikan. Tentang apa hasilnya ya kita sepakat saja. Ada kecenderungan kita sepakat dua putaran,” Aria menandaskan.
Advertisement