Liputan6.com, Jakarta Istri calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo, Siti Atikoh Suprianti menghadiri acara silahturahmi dengan para tokoh lintas agama se-Sulawesi Utara (Sulut), di Minahasa Utara, Rabu (17/1/2024).
Sejumlah perwakilan tokoh lintas agama se-Sulawesi Utara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), MUI, NU, Muhammadiyah, perwakilan Sinode, umat Katolik, hingga umat Hindu, dan Khonghucu turut hadir pada acara tersebut.
Baca Juga
Atikoh menyampaikan bahwa Indonesia bisa berdiri karena ada keberagaman. Hal itu bisa dilihat dari lambang negara, yakni Bhineka Tunggal Ika.
Advertisement
Dari semangat keragaman itulah, Atikoh menyebut Ganjar-Mahfud menginginkan adanya kesejahteraan yang bukan hanya finansial tapi juga sosial, termasuk rasa keamanan dan kedamaian dalam beribadah.
“Seluruh masyarakat harus mendapatkan haknya dalam beribadah dan dalam mereka mengembangkan diri,” kata Atikoh.
Dia juga mengaku kerap ditanya oleh masyarakat, kelak Ganjar terpilih apa yang akan dilakukan ke depan.
Atikoh pun menceritakan soal pelangalaman selama 10 tahun mendampingi Ganjar Pranowo sebagai Gubenur Jawa Tengah. Ia menyebut, Ganjar selalu terdepan membela hak warga, dari golongan dan agama manapun.
“Anak-anak, usia lanjut, perempuan, kelompok-kelompok marjinal, dan elemen masyarakat yang selama ini suaranya kurang didengar, misalnya difabel, kaum yang termarjinalkan, atau misalnya kalau di Jawa ada kelompok yang masih tradisional (adat),” ungkap dia.
Pemimpin Harus Mengayomi
Menurut Atikoh, seorang pemimpin harus bisa mengayomi keseluruhan, agar setiap individu bisa hidup bersama, saling toleransi, dan memahami.
“Terkadang toleransi dipandang hanya sempit, kita berbeda. Tapi implementasinya masih harus terus diimprove, ditingkatkan. Toleransi tercipta bila masing-masing paham perbedaan dan bagaimana mengharmonikan itu semua,” jelas Atikoh.
Advertisement
Tak Pernah Ada Persoalan
Atikoh juga mengungkapkan, selama 10 tahun sang suami menjabat sebagai Gubenur Jawa Tengah, tidak pernah ada permasalahan soal pembangunan rumah ibadah.
“Puji syukur di Jawa Tengah itu tidak pernah terjadi seperi itu. Tidak pernah ada kejadian di mana ketika ada masyarakat ingin dirikan tempat ibadah itu dipersulit. Karena pemimpinnya berani di depan sendiri untuk memperjuangkan hak-hak setiap warga masyarakat, itu namanya toleransi,” pungkas Atikoh.