Sukses

KPU: Pengawasan Presiden Berkampanye Jadi Kewenangan Bawaslu

Sementara soal pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait presiden boleh berkampanye dan memihak kepada peserta Pemilu, Hasyim mengatakan hal itu memang sudah sesuai payung hukum yang ada.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan pihaknya tak berwewenang mengawasi para pejabat negara termasuk presiden saat berkampanye. Ia mengatakan, pengawasan tersebut merupakan ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). 

“Soal pengawasan, penegakan aturan, silakan (tanya) ke Bawaslu,” kata Hasyim saat ditemui awak media di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

Menurut dia, KPU hanya menjalankan aturan sesuai dengan aturan kepemiluan yang sesuai undang-undang.

“Yang menjalankan tugas kewenangan pengawasan itu Bawaslu silakan tanya ke Bawaslu,” tegas Hasyim.

Sementara soal pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait presiden boleh berkampanye dan memihak kepada peserta Pemilu, Hasyim mengatakan hal itu memang sudah sesuai payung hukum yang ada.

“Di Undang-Undang Pemilu sudah diatur (presiden boleh berkampanye), apa yang disampaikan Pak Presiden tersebut menyatakan, norma yang berada di Undang-Undang Pemilu,” tutur dia.

Hasyim menerangkan, secara jelas payung hukum Pemilu sudah mengatur jenis-jenis pejabat negara yang boleh dan tidak untuk ikut berkampanye. Artinya, bukan maksud membenarkan pernyataan Jokowi, namun apa yang dikatakan adalah sebuah aturan yang sudah ditetapkan.

“Bukan dibenarkan, tapi apa yang disampaikan Pak Presiden itu adalah ketentuan pasal-pasal di Undang-Undang Pemilu, itu Undang-Undang mengatakan itu,” Hasyim menandasi.

2 dari 3 halaman

UU yang Mengatur Presiden dan Pejabat Negara Boleh Memihak dan Berkampanye

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terdapat sejumlah daftar pejabat negara  yang secara jelas dilarang ikut berkontestasi. Dalam daftar tersebut, presiden, menteri dan kepala daerah tidak termasuk. Hal itu termuat dalam sejumlah pasal Pasal 280 ayat (2) dan (3). 

Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu berbunyi:

Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan:

a. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

b. Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;

c. Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;

d. Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;

e. Aparatur sipil negara;

f. Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

g. Kepala desa; Perangkat desa;

h. Anggota badan permusyawaratan desa; dan

i. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.

j. anggota badan permusyawaratan desa;

k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih

Kemudian Pasal 280 ayat (3) UU Pemilu berbunyi:

Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut sebagai pelaksana dan tim Kampanye pemilu.

3 dari 3 halaman

Aturan Presiden dan Menteri soal Kampanye

Lalu bagaimana aturan terhadap presiden dan menteri untuk ikut berkampanye?

Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di bagian kedelapan memuat soal beleid Kampanye Pemilu oleh Presiden dan Wakil Presiden dan Pejabat Negara Lainnya. Hal itu tertuang di Pasal 299 yang berbunyi:

Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye.Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai Politik mempunyai hak melaksanakan  Kampanye.Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai, anggota Partai Politik dapat melaksanakan  kampanye, apabila yang bersangkutan sebagai:

a. calon presiden dan calon wakil presiden

b. anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU; atau

c. pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU. 

Walau diperbolehkan, namun mereka yang termasuk dalam Pasal 299 memiliki ketentuan khusus di Pasal 300 yang berbunyi:

“Selama melaksanakan kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah,” 

Kemudian terhadap menteri yang ikut berkampanye, juga memiliki aturan yang harus ditaati dalam Pasal 302. Berikut bunyinya:

Menteri sebagai anggota tim kampanye dan/atau pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 299 ayat (3)  huruf b dan huruf c dapat diberikan cuti.Cuti bagi menteri yang melaksanakan kampanye dapat diberikan 1 (sahi) hari kerja dalam setiap minggu selama masa kampanye.Hari libur adalah hari bebas untuk melakukan Kampanye di luar ketentuan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Terakhir, bagi mereka pejabat negara yang dibolehkan berkampanye, terdapat aturan yang menjadi pembatasan agar tidak menyalahgunakan kewenangan. Hal itu tertuang dalam Pasal 304. Berikut isinya:

Dalam melaksanakan Kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara.Fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi . kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya;

b. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik Pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan, prinsip keadilan;

c. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan 

d. fasilitas lainnya yang dibiayai oleh ApBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

3. Gedung atau fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disewakan kepada umum dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).