Sukses

Soal Kaesang Kampanye Bareng Gibran dan Jokowi, PSI: Coba Kita Koordinasikan

Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Raja Juli Antoni, membuka kemungkinan mempertemukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam kampanye akbar bersama Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep.

Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Raja Juli Antoni, membuka kemungkinan mempertemukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam kampanye akbar bersama Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep.

Terlebih, Jokowi telah mengatakan bahwa presiden diperbolehkan untuk berkampanye dan memihak pada pemilihan umum (pemilu).

"Malah dapat ide baru nih ya. Nanti coba kita bincangkan, kita koordinasikan," kata Raja Juli kepada wartawan di Stadion Mini Parigi Lama, Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten, Kamis (25/1/2024).

"Ya baru denger saya idenya ini. Usulan (kampanye bersama) akan saya sampaikan," sambungnya.

Dia mengatakan PSI akan melihat sikap Jokowi apakah akan menggunakan haknya sebagai warga negara untuk berkampanye atau tidak. Raja Juli menyebut masih ada sisa 16 hari masa kampanye pemilu 2024 apabila Jokowi ingin turun gunung untuk kampanye.

"Ya kita lihat lah nanti perkembangan. Masih ada berapa hari kan (masa kampanye," ucap Raja Juli.

Menurut dia, Jokowi sejauh ini masih bersikap netral sebagai kepala negara. Sebab, kata Raja Juli, Jokowi belum mendeklarasikan dukungannya ke pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

"So far kan beliau netral. Belum ada eksplisit bahwa beliau mendukung 02, kan belum ada. Secara eksplisit, beliau mendukung partai anu, kan belum kan," tutur dia.

"Nah monggo kita tunggu 2 minggu ini apakah Pak Jokowi mempergunakan hak dia sebagai (warga) negara (untuk kampanye) selama batasnya sederhana saja, tidak menggunakan fasilitas negara dan uang negara," Raja Juli menambahkan.

2 dari 4 halaman

Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, tidak ada aturan yang melarang pejabat negara untuk memihak dan berkampanye mendukung salah satu pasangan calon tertentu di pemilu 2024.

Hal itu dia sampaikan saat menanggapi pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md soal banyaknya menteri di kabinet Jokowi yang secara terang mendukung kandidat tertentu meski bukan bagian dari tim sukses.

"Itu hak demokrasi setiap orang, setiap menteri sama saja, presiden itu boleh loh kampanye, presiden boleh loh memihak!," kata Jokowi di Halim Perdanakusuma Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Jokowi menambahkan, jika ada menteri atau dirinya sendiri selaku presiden akan berkampanye maka yang dilarang adalah tidak menggunakan fasilitas negara.

"Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," wanti dia.

Jokowi menjelaskan, menteri dan presiden bukanlah sekadar pejabat publik, namun juga pejabat politik. Maka dari itu, memihak dan mendukung kandidat tertentu adalah dibolehkan.

"Masa gini ga boleh? Gitu ga boleh ? Berpolitik ga boleh? Boleh. Menteri boleh. Itu saja. Yang mengatur itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara," pungkas Jokowi.

3 dari 4 halaman

Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak, Pakar Hukum: Rusak Etika dan Moral

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari angkat suara soal penyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan presiden boleh berkampanye dan memihak kepada salah satu pasangan calon (paslon) dalam pilpres 2024. Menurut Feri, pernyataan tersebut bisa merusak etika bernegara.

"Tapi problematikanya bukan problem normatif peraturan perundang-undangan, problemnya adalah kerusakan etika dan moral karena presiden," ujar Feri, Kamis (25/1/2024).

Feri mengatakan, jika presiden memihak kepada salah satu kandidat, maka bisa saja hal itu merusak sistem kepartaian. Sebab, kata dia, idealnya seorang presiden mendukung calon yang diajukan partainya. Namun fakta saat ini berbeda. Jokowi diyakini justru mendukung calon presiden yang diusung oleh partai lain.

"Ini kan kerusakan etika berpolitik, berpartai. Letak kesalahan pada panggilan etika dan moral," tutur Feri.

Feri mengkritik, sampai saat ini Jokowi diyakini tidak menjalankan nilai-nilai moral bernegara. Bahkan tidak memberikan contoh baik dalam beretika politik di Indonesia.

"Terdapat aturan hukum yang melarang pejabat negara menunjukkan keberpihakannya terhadap peserta pilpres," wanti pria yang juga seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Feri lalu mengurai sejumlah pasal yang memayungi aturan terkait. Pertama, Pasal 282 dan 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Adapun Pasal 282 berbunyi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye," ungkap Feri

"Juga Pasal 283, pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye," sambung Feri.

Feri mengamini aturan disebutkan otomatis gugur jika mereka cuti dari jabatannya dan tidak menggunakan fasilitas negara. Sebab, hal itu tertuang dalam aturan dalam Pasal 281.

Meskipun demikian, walau tidak melanggar aturan, tetapi bentuk keberpihakan kepala negara bakal berbenturan dengan etika dan moral.

"Namun semua keberpihakan Jokowi itu berbenturan dengan etika berpolitik dan bernegara," Feri memungkasi.

 

4 dari 4 halaman

Presiden Seharusnya Jadi Pemimpin Moral

Co-Captian Timnas Anies-Muhaimin (AMIN) Sudirman Said menyayangkan Presiden Jokowi yang menyebut presiden boleh berkampanye dan memihak di pilpres 2024.

Menurut Sudirman, seorang presiden bukan hanya petugas teknis atau terbatas mengurus soal administrasi. Namun, kata dia, juga merupakan seorang pemimpin moral.

"Peran terbesar seorang presiden adalah menjadi pemimpin moral. Karena dengan moral itu, bawahnya ikut semua. Jadi kami sangat prihatin apabila sikap itu dikatakan," kata Sudirman.

Sudirman menilai pernyataan Jokowi bukan lagi soal aturan hukum semata. Dia lebih melihat persoalan itu berkaitan dengan asas patut dan ketidakpatutan.

"Jadi bukan soal legal tidak legal, legal tidak legal sudah terbukti bahwa itu bisa diterobos. Contohnya, ketika ia memaksakan anaknya untuk masuk dalam kontestasi," ungkap Sudirman.

"Tapi soal legal tidak legal itu pimpinan tinggi negara ukurannya patut atau tidak. Artinya ukurannya ada di peran etika," sambung dia.

Lebih lanjut, mantan Menteri ESDM itu berharap pernyataan Jokowi itu tidak mempengaruhi tata kelola di pemerintahan. Sebab, kata Sudirman Said, pejabat publik harusnya menjalankan sumpah melayani rakyat.

"Mudah-mudahan statement tadi pagi itu tidak membuat tata kelola kita menjadi kacau, yang mendorong semua pejabat publik, yang sekaligus pejabat politik berpikir soal kelompok atau kepentingannya," kata Co-Captian Timnas AMIN.