Sukses

Pakar Hukum Nilai Status Pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran Tetap Legal Meski DKPP Sanksi Ketua KPU

Putusan DKPP terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pada 25 Oktober 2023 lalu mendapat respons dari Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid.

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum atau Ketua KPU Hasyim Asy'ari melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP).

Akibat pelanggaran tersebut, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras dan yang terakhir kepada Hasyim. DKPP menjelaskan, pelanggaran dilakukan Hasyim terkait pendaftaran pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) pada 25 Oktober 2023.

Putusan DKPP terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari mendapat respons dari Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid.

"Setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara PEMILU Republik Indomesia(DKPP) mengeluarkan Putusan dalam perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023, dengan menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari karena melanggar kode etik terkait proses pendaftaran capres-cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan syarat batas usia peserta Pilpres, maka tidak mempunyai implikasi konstitusional serta hukum apapun terhadap pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, eksistensi sebagai 'legal subject' paslon adalah konstitusional serta 'legitimate'," ujar Fahri melalui keterangan tertulis, Senin (5/2/2024).

Dia menjelaskan, dalam membaca Putusan DKPP ini harus dilihat pada dua konteks yang berbeda.

"Konteks pertama yaitu status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang diwajibkan 'legal obligation' untuk melaksanakan perintah pengadilan yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU- XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 sebagaimana mestinya," ucap Fahri.

"Dan yang kedua adalah bahwa dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi 'a quo' tindakan Para Teradu (KPU) dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, sehingga berkonsekwensi terjadi pelanggaran etik," sambung dia.

 

2 dari 3 halaman

Ada Putusan MK yang Mengikat

Fahri Bachmid menguraikan bahwa DKPP dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah produk hukum yang mengikat bagi KPU selaku pemangku kepentingan.

"Hal ini didasarkan pada ketentuan norma Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditegaskan kembali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2012 yang dalam pertimbangan hukum pada halaman 75 dan 76 yang menyatakan:'Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, 'Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...'," terang dia.

"Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum 'erga omnes' yang langsung dilaksanakan 'self executing' putusan Mahkamah derajatnya sama seperti Undang-Undang yang harus dan wajib dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada...'," sambung Fahri.

 

3 dari 3 halaman

Pertimbangan Yuridis Putusan DKPP

Fahri Bachmid menambahkan bahwa DKPP mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagaimana terdapat pada halaman 56.

"Putusan yang menyatakan: '... Dengan demikian, oleh karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. sehingga lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya...'," papar dia.

Fahri mengatakan bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, KPU selaku subjek hukum tata negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melaksanakan Putusan MK sebagaimana mestinya.

Sehingga, lanjut dia, dengan demikian dari aspek hukum tata negara tindakan KPU menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi.

"Dalam pertimbangan yuridis Putusan DKPP mengatakan bahwa dalam melaksanakan Putusan MK, tindakan KPU selaku teradu tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, artinya KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindaklanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tetapi pada hakikatnya itu merupakan ranah etik yang tentunya dapat dinilai secara etik sesuai Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, tutup Fahri Bachmid," jelas Fahri.