Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari, beserta seluruh jajaran komisioner berkumpul dan menyampaikan pesan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa Rabu, 14 Februari 2024, menjadi hari puncak dari pesta demokrasi lima tahunan yang ditandai dengan pemungutan suara.
"Jadi pemungutan suara untuk pemilu 2024 akan digelar pada hari Rabu 14 Februari 2024 sesuai dengan zona waktunya masing-masing, yaitu Indonesia Timur tentu lebih awal, kemudian Indonesia Tengah dan Indonesia Bagian Barat," ujar Hasyim di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa (13/2/2024).
Baca Juga
Hasyim juga berpesan kepada para pemilih agar bisa hadir di tempat pemungutan suara (TPS) masing-masing untuk menunaikan hak pilihnya sesuai lokasi terdaftar.
Advertisement
"Sebelum menggunakan hak pilih, kami mengharapkan para pemilih itu mengisi daftar hadir untuk memastikan kehadirannya sudah tercatat," jelas Ketua KPU.
Hasyim mewanti-wanti kepada pemilih agar mengisi daftar hadir, demi menghindari adanya orang tidak bertanggung jawab menggunakan kesempatannya lebih dari satu kali.
"Padahal kesempatan pemilih untuk memilih adalah cuma satu kali. Itu ditandai dengan mengisi daftar hadir. Apakah pemilih tersebut masuk kategori pemilih yang terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT), atau tambahan (DPTb), atau khusus (DPK)," kata Hasyim.
Sebelum mencoblos, Hasyim juga mendorong agar pemilih bisa memeriksa ulang surat suara yang diserahkan oleh kelompok panitia pemungutan suara (KPPS). Pemeriksaan itu ditujukan agar memastikan surat suara benar-benar dalam kondisi baik dan belum tercoblos.
"Kami berharap dibuka dulu surat suaranya untuk memastikan bahwa surat suara yang diterima itu dalam kondisi baik dan siap untuk digunakan untuk memilih," kata Hasyim.
Usai mencoblos, Hasyim meminta kepada para pemilih untuk melipat kembali surat suaranya dan memasukkan sesuai dengan kotak suaranya masing-masing.
Diketahui, terdapat lima jenis kotak suara yaitu pilpres, pileg DPR RI, pileg DPD RI, pileg DPRD Provinsi dan pileg DPRD Kabupaten/kota.
"Sebelum meninggalkan TPS, salah satu hal yang harus dilakukan adalah memberikan tanda dengan tinta. Pemilih celupkan (salah satu) jarinya di tinta sebagai penanda bahwa dirinya sudah memilih," Hasyim menandasi.
MUI: Serangan Fajar Hukumnya Haram
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengimbau masyarakat untuk menolak politik uang, termasuk 'serangan fajar' jelang hari pencoblosan pemilu 2024.
Menurut Niam, proses memilih pemimpin harus didasarkan pada pertimbangan kompetensi mengemban amanah kepemimpinan guna mewujudkan kemaslahatan umum, bukan karena iming-iming pemberian harta.
"Tidak boleh memilih karena sebab sogokan atau pemberian harta semata. Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal dengan serangan fajar," kata Niam dilansir dari Antara, Selasa (13/2/2024).
Ia mengingatkan bahwa MUI telah menetapkan fatwa yang berkenaan dengan hal suap-menyuap dalam pemilu melalui forum Ijtimak Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Kalimantan Selatan pada 2018.
"Hukumnya haram. Menerima sogokan politik yang kemudian mendorong orang untuk memilih orang yang tidak kompeten hukumnya haram," tegas Asrorun Niam Sholeh.
Niam juga mengajak masyarakat untuk menjaga situasi tetap kondusif jelang pencoblosan dalam pemilu 2024 yang akan dilaksanakan pada Rabu 14 Februari 2024. Ia mengatakan, pemilu merupakan instrumen untuk mewujudkan tujuan bernegara, kedamaian, serta kesejahteraan umum.
"Untuk itu, mari jaga suasana kondusif jelang pelaksanaan pemilu, untuk mewujudkan pesta demokrasi yang damai, adil, jujur, dan bermartabat, serta jauh dari perilaku curang, intimidatif, koruptif, dan tidak melanggar hukum lainnya," tutur Niam.
Â
Advertisement
MUI Imbau Masyarakat Tidak Golput
Niam menambahkan, dalam sistem politik Indonesia, setiap warga negara diberi hak untuk memilih. Hak tersebut harus digunakan secara baik dan bertanggung jawab dalam mewujudkan kepemimpinan publik yang baik.
"Karenanya, memilih pemimpin yang mampu menjaga agama dan mampu mengurusi urusan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan hukumnya wajib. Sebaliknya, golput dalam arti tidak mau berpartisipasi menggunakan hak pilih, kemudian terpilih pemimpin yang lalim dan tidak kompeten, maka tindakan itu haram dan berdosa," tambah Niam.
Karena itu, menurut Niam, proses memilih pemimpin harus didasarkan pada pertimbangan kompetensi mengemban amanah kepemimpinan guna mewujudkan kemaslahatan umum.
"Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, meminta pertolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang shidiq atau jujur, yang amanah atau dapat dipercaya, yang tabligh atau punya kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau punya kompetensi," ujar Niam.