Sukses

Tim Hukum AMIN: Penghentian Penghitungan Suara di Kecamatan Bentuk Pidana Pemilu

Tim Hukum AMIN menilai KPU juga tidak serius merespons meluasnya keresahan di tengah masyarakat, dan hal itu semakin memperkuat dugaan adanya desain besar kecurangan pemilu.

Liputan6.com, Jakarta - Penghentian proses rekapitulasi pengitungan perolehan suara tingkat kecamatan oleh Komisi Pemiliha Umum (KPU) menjadi tanda tanya dan menimbulkan kecurigaan. Tim Hukum Nasional Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendesak KPU untuk menjelaskan hal tersebut.

Aturan perundang-undangan mengatur bahwa penghitungan suara dilakukan secara manual berjenjang yang begitu panjang dan menjadi hasil resmi Pemilu 2024. Penghentian penghitungan suara itu rawan disusupi dan melanggar administrasi serta pidana pemilu.

"Terlebih selama ada berbagai kejadian temuan ribuan kotak suara yang tidak tersegel menjelang pemungutan suara digelar. Bahkan banyak juga temuan ribuan surat suara pilpres yang sudah tercoblos paslon tertentu, khususnya Paslon 02,” ujar Ketua Umum Tim Hukum AMIN Ari Yusuf Amir dalam jumpa pers di Jalan Brawijaya X, Jakarta, Senin (19/2/2024).

Tim Hukum AMIN menilai KPU juga tidak serius merespons meluasnya keresahan di tengah masyarakat, dan hal itu semakin memperkuat dugaan adanya desain besar kecurangan pemilu. Tim Hukum AMIN mendesak agar dilakukan audit terhadap sistem KPU secara keseluruhan.

Tim Hukum AMIN berpandangan, permasalahan pada Sirekap tidak boleh membuat rekapitulasi di kecamatan ditunda. Kedua hal itu merupakan variabel yang berbeda dan tidak boleh saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Sama seperti quick count, Sirekap hanyalah alat bantu dan bukan data resmi hasil pemilu. Menurut Ari, UU Pemilu menegaskan Sirekap bukanlah basis data dalam rekapitulasi suara manual berjenjang.

Meski demikian, Tim Hukum AMIN juga meminta persoalan Sirekap segera dituntaskan. Kekacauan yang terjadi, di mana banyak sekali kasus penggelembungan suara melalui Sirekap, telah memunculkan kekhawatiran dan kecurigaan.

Tim Hukum AMIN kembali meminta KPU menjelaskan berbagai pertanyaan soal buruknya sistem Sirekap serta problem keamanan data, terkait dugaan keberadaan server Sirekap di luar negeri.

"Maka kami minta KPU segera tuntaskan persoalan Sirekap yang bermasalah itu,”tegas Ari.

2 dari 3 halaman

Minta Sirekap Diaudit

Deputi Kanal Media TPN Ganjar-Mahfud, Karaniya Dharmasaputra mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk melibatkan pakar teknologi informasi independen dalam rangka mengaudit investigasi dan mengungkap sumber kesalahan input data atau data entry melalui aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).

"Saya kira aplikasi Sirekap dan KPU online memiliki fungsi strategis untuk menghindari tuduhan-tuduhan kecurangan. Keberadaan sistem online ini, semua pihak bisa melakukan pengawasan hingga ke level mikro. Transparansi ini tidak boleh dihilangkan dan setiap stakeholders bisa melakukan verifikasi data," ujar Karaniya di Media Center Cemara, Jakarta Pusat, Jumat (16/2/2024).

Karaniya menyebut, teknologi yang digunakan Sirekap cukup canggih yakni Optical Mark Rocognition (OMR). Proses pengumpulan data pun dengan mengenali karakter pada kertas dokumen unggahan.

Selain itu, aplikasi Sirekap juga menggunakan teknologi Optical Character Recognition (OCR) yang berkemampuan untuk mengkonversi data berupa gambar menjadi teks.

"Saya sangat terheran-heran bagaimana mungkin sebuah sistem yang dikembangkan oleh negara yang berkaitan dengan event yang sensitif bisa sedemikian ngaconya, dengan tingkat error yang tinggi. Ini yang harus kita telusuri secara serius ke depan. Apalagi, Ketua KPU sudah mengakui dan meminta maaf atas kekeliruan di 2.325 TPS," jelas dia.

 

3 dari 3 halaman

Dorong DPR Panggil KPU

Lebih lanjut, kekeliruan tersebut harus diselesaikan secara transparan dan independen, serta melibatkan pihak-pihak terkait termasuk ahli teknologi informasi.

Selain itu, kondisi ini menjadi momentum bagi DPR untuk memanggil KPU guna mempertanggungjawabkan permasalahan tersebut.

"Kami mendesak KPU lakukan audit investigasi dari pihak independen. Kemudian, satu hal yang sangat mudah ditunjuk, yaitu kita memiliki DPR, khususnya komisi yang berkepentingan dan seyogyanya memanggil komisioner KPU," Karaniya menandaskan.