Liputan6.com, Jakarta - Golkar meraih suara maksimal di Pemilu 2024, dengan finish di urutan kedua menyaingi PDI Perjuangan. Menurut Pengamat Politik Arief Budiman, hal itu bukanlah kebetulan melainkan sebuah kalkulasi politik yang sudah cermat diperhitungkan.
“Strategi Golkar di Pileg 2024 sebagai politik kredit-debit. Bahwa dengan modal genetik kemapanan institusional, Golkar mengkalkulasi setiap langkahnya dengan cermat untuk mengonversi setiap cost yang selama ini dianggap sebagai liabilitas menjadi keuntungan politik,” kata Arief seperti dikutip dari siaran pers, Senin (6/5/2024).
Baca Juga
Demi menjaga asa para pemilihnya, Arief menilai Golkar tidak boleh salah langkah saat Pilkada 2024. Caranya, dengan mencari tokoh kharismatik agar dapat terpilih sebagai kepala daerah guna menyongsong Pilpres 2029.
Advertisement
“Penting bagi Golkar segera menemukan sosok kharismatik yang dipersiapkan secara khusus menyongsong Pilpres 2029. Pilkada yang berlangsung pada November nanti, bisa menjadi salah satu alat penyaringan,” jelas pria yang menjabat sebagai Chief Political Officer dari Political Strategy Group (PSG) ini.
Arief mengatakan, trend kepemimpinan nasional saat ini berkaca pada rekam jejak kepala daerah. Sebab dari tiga Pilpres sebelumnya, kepala daerah menjadi kandidat paling potensial dibawa ke kancah nasional.
“Tren kepemimpinan nasional sedang mengarah kepada sosok yang memiliki rekam jejak politik sebagai kepala daerah. Setidaknya dalam tiga pemilu terakhir yang mayoritas kandidat adalah mantan kepala daerah,” jelas dia.
Sosok Teknokrat Jadi Nilai Jual Golkar
ArieF meyakini, saat ini Partai Golkar perlu kembali menjaring sosok dari kalangan teknokrat yang pernah menjadi nilai jualnya di masa lalu. Hal ini tak lepas dari kebijakan ekonomi Indonesia yang mulai kembali pula mengarah ke pembangunan fisik dan industri. Bukan sepertiu awal era reformasi yang cenderung ke arah pembangunan politik.
“Tantangan tersebut bisa jadi sangat berat bagi Golkar. Setidaknya bila melihat sosok politikus kaliber nasional mereka yang bercokol hari ini mayoritas adalah dari kalangan aktivis, bila tidak terkait trah dinasti,” kata Arief.
Sementara, menurut Arief, masuknya sosok baru untuk didorong ke arah kepemimpinan nasional sangat mungkin mendapat resistensi dari faksi-faksi yang kini telah bercokol di dalam tubuh Golkar.
“Resistensi terhadap sosok BJ Habibie di masa lalu, barangkali tepat sebagai contoh nyata akan kemungkinan tersebut. Namun sekali lagi, Golkar memang mau tak mau harus mencari Habibie baru walau harus sampai ke dasar tumpukan jerami bila ingin menang absolut di pemilu mendatang,” Arief menandasi.
Advertisement