Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis-Suseno menilai, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia.
“Pemilu (2024) kemarin adalah pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia,” katanya dalam diskusi terbuka bertajuk 'Setelah 26 Tahun reformasi dan Pilpres Nir-Jurdil' di Auditorium STF Driyarkara, Jakarta, Senin (20/5/2024).
Baca Juga
Meskipun demikian, Romo Magnis panggilan akrabnya, mengaku tetap menerima hasil pemilu sebagai bentuk sikap demokratis. Namun, ia menilai masyarakat masih harus berperan untuk memperjuangkan sejumlah hal, yang salah satunya adalah kebebasan demokrasi.
Advertisement
“Hal pertama yang harus diperjuangkan adalah kebebasan demokratis, kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berorganisasi tidak dibatasi. Hal ini penting karena dalam beberapa tahun terakhir ada pembatasan kebebasan berpendapat, ada orang yang melontarkan kritik lalu dibawa ke polisi dengan tuduhan menghina,” ungkapnya.
Hal kedua, yakni soal sikap kritis terhadap oligarki dan tata kelola lembaga anti-korupsi. Ia menilai saat ini lembaga anti-korupsi telah dijadikan alat untuk melindungi kekuasaan dari hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukan.
“Kemudian, hal ketiga yang tidak kalah penting untuk diperjuangkan adalah keadilan sosial. Jangan sampai masyarakat Indonesia mencari ideologi selain Pancasila karena masih miskin. Saat ini 50% bangsa Indonesia belum sejahtera dan 9% dari mereka masih miskin. Kalau rakyat Indonesia punya anggapan Indonesia hanya milik mereka yang kaya maka bukan tidak mungkin mereka akan mencari ideologi baru,” pungkasnya.
JK: Pemilu 2024 Terburuk, Diatur Orang-Orang yang Punya Uang
Pendapat yang sama juga pernah diungkap oleh Wakil Presiden ke-10 dan 12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla. JK menilai pemilu 2024 menjadi yang terburuk dibandingkan pemilu sejak Pemilu pada tahun 1955.
"Bagi saya, saya pernah mengatakan ini adalah pemilu yang terburuk dalam sejarah pemilu Indonesia sejak 1955," kata JK.
JK mengutarakan, Pemilu 2024 telah diatur sedemikian rupa oleh segelintir kelompok tertentu. Karena itu, JK mendorong adanya suatu perubahan jika terus dibiarkan maka akan berdampak negatif pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Artinya adalah demokrasi pemilu yang kemudian diatur oleh minoritas, artinya orang yang mampu, orang pemerintahan, orang-orang yang punya uang. Masalahnya apabila sistem ini menjadi suatu kebiasaan, maka kita akan kembali ke zaman otoriter, itu saja masalahnya sebenarnya," ucap dia.
Advertisement
Perlu Dievaluasi
JK kemudian membeberkan macam-macam demokrasi dimulai pada era Soekarno, Soeharto hingga Joko Widodo. Menurut dia, masing-masing ada kelebihan dan kekurangan. Pada masa ini, demokrasi lebih terbuka.
"Walaupun kemudian nanti kita lihat masalah-masalah yang kita hadapi. Itu hal pertama, yang kita bicarakan ini sistem, karena sistem lah yang dapat mencapai tujuannya. Nah sekarang kita baru saja melewati suatu cara pemerintahan demokratis dengan pemiu ini, yang bagi kita, banyak pihak yang menilai ya ini perlu dikoreksi, perlu dievaluasi," tandas dia.
Reporter: Dian Agustini/Magang