Liputan6.com, Jakarta Belakangan ramai adanya gerakan coblos tiga pasangan calon di Pilkada Jakarta 2024 yang disuarakan di media sosial. Hal ini menuai pro dan kontra.
Pengamat politik Adi Prayitno mengatakan, sebagai bentuk kemarahan dianggap wajar. Namun, itu tentu tak beralasan.
Baca Juga
"Sebagai sebuah gerakan politik, sebagai bentuk kemarahan, nggak ada persoalan. Cuma ini kemarahan yang tidak beralasan, kekecewaan yang tidak beralasan," kata dia, Kamis (12/9/2024).
Advertisement
Menurut Adi, jika memang gerakan tersebut sampai di masa pencoblosan Pilkada Jakarta, hal ini akan berpengaruh terhadap legitimasi pemenang pilkada.
Karena itu, dia berharap ekspresi kemarahan dan kekecewaan itu tidak terus berlanjut.
"Semoga saja gerakan coblos tiga paslon itu hanya sebatas emosi sesaat dan tidak banyak yang melakukan," jelas Adi.
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus menyoroti timbulnya gerakan coblos tiga pasangan calon dalam Pilgub Jakarta. Dia mengimbau warga Jakarta tetap menggunakan hak suara secara sah.
Meskipun, dia memahami bahwa gerakan tersebut sebagai bentuk aspirasi kekecewaan dari masyarakat.
"Itu kan bentuk kekecewaan atau bentuk dari protes mereka yang kecewa dalam pelaksanaan pemilu. Namun ini tidak bisa dinamakan golput karena mereka tetap ingin memakai hak suaranya namun tidak sah," kata Guspardi, Kamis (12/9/2024).
Berbeda dengan Golput
Guspardi menjelaskan, gerakan tersebut berbeda dengan golput karena golput merupakan orang yang memiliki hak suara namun memilih tidak datang ke TPS, sementara gerakan coblos tiga paslon ini hanya bertujuan membuat suara tidak sah.
"Kalau gerakan yang tadi itu hanya untuk menyampaikan bentuk protes jadi membuat kertas suara rusak dan tidak sah dengan memilih ketiga paslon," jelas dia.
"Kalau rusak dan tidak sah artinya kan percuma, tidak dihitung suaranya dan tidak ada penambahan suara terhadap salah satu kandidat," sambungnya.
Advertisement
Aspirasi Politik
Guspardi pun mengimbau agar masyarakat tetap menyalurhan hak suara sesuai ketentuan, sebagai bagian dari demokrasi dengan turut berpartisipasi dalam menentukan calon pemimpin daerah.
"Memang ini bagian dari aspirasi politik, tapi jadinya mubazir. Akan lebih elok memilih satu di antara 3 sesuai aspirasinya, paling tidak yang mendekati seperti tokoh harapan mereka,” tutur dia.
"Memang tidak ada aturan atau larangan bagi yang membuat surat suara tidak sah. Hanya saja alangkah baiknya kita menjadi warga negara Indonesia yang baik dengan menggunakan hak suara," tegas Guspardi.
Dia menyebut, Pemilu merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan untuk rakyat dalam memilih pemimpinnya. Sehingga Guspardi berharap masyarakat dapat melihat sisi baik dari setiap pasangan calon.
"Jika tidak ada tokoh harapannya, bisa melihat visi misi dari pasangan-pasangan calon yang ada. Jadi bisa tahu mana yang paling bisa mewakili aspirasi pemilih," terangnya.