Liputan6.com, Jakarta - Menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, masyarakat Kabupaten Bima, NTB, punya cara unik untuk mencegah perpecahan. Salah satunya dengan ritual budaya Kalondo Lopi (Penurunan Kapal).
Acara tersebut digelar oleh IKRA (Ikatan Keluarga Wera Nusantara) bersama Forum Komunikasi Kasabua Ade (FOKKA Indonesia) dengan menggandeng Korem 162 Wira Bhakti pada 23-24 Oktober 2024 di Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Baca Juga
Ketua Umum Ikatan Keluarga Wera Nusantara (IKRA) Prof. H. Muchtar menjelaskan, Kalondo Lopi juga bisa menjadi pintu masuk pengembangan berbagai potensi yang dimiliki Kecamatan Wera.
Advertisement
"Mulai potensi wisata alam, budaya, kuliner dan berbagai kearifan lokal lainnya memiliki nilai jual yang tinggi, sehingga akan memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat Kecamatan Wera," kata Muchtar.
Ia menilai, Pulau Sangiang Api yang menjadi simbol kebangaan Kecamatan Wera memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisawatan, sehingga dapat mengundang wisatawan lokal maupun mancanegara untuk berkunjung ke lokasi tersebut.
"Ini adalah potensi yang harus ditangkap dan dijaga, serta dikembangkan, sehingga nanti secara makro akan berdampak bagi pengembangan daerah lain yang juga memiliki potensi bagus, seperti Pulau Ular, Karomo Wera, Taja Ngao, Oi ca'ba, Pantai Pasir Besi dan lainnya," terangnya.
Oleh karena itu, setelah momentum Kalondo Lopi ini, IKRA akan menginisiasi Desa Wisata dan Festival Sangiang Api yang berisikan lomba perahu layar tradisional, pacuan kuda pesisir pantai, pekan seni dan budaya, serta bazar UMKM yang berskala nasional.
"Untuk masuk dalam kalender event nasional, InsyaAllah akan terus kami perjuangkan," sambungnya.
Tetap Bersatu Menuju Pilkada
Pada kesempatan sama, Ketua Panitia Kalondo Lopi, Saifullah Anwar menerangkan, kontestasi politik dalam Pilkada kerap membuat adanya polarisasi di masyarakat, bahkan antar warga bisa saling tak bertegur sapa hanya karena berbeda pilihan politik.
Melalui momentum Kalondo Lopi ini, katanya, semuanya dilebur dan bersatu kembali. Kalondo Lopi menjadi gerak budaya untuk menyatukan semua yang berserakan dimana-mana.
"Kalondo Lopi ini filosofinya adalah bagaimana sebuah kekuatan komunal itu show force di era kekinian. Ini fenomena sosial pesisir yang selalu mengedepankan nilai-nilai gotong royong, nilai-nilai kebersamaan, tanpa ada sekat pilihan politik," katanya.
Selain itu, kehadiran TNI dalam ritual Kalondo Lopi ini menjadi perekat dari polarisasi tersebut. "Lewat momentum Kalondo Lopi, kami ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kebersamaan itu nyata lewat Kemanunggalan TNI bersama Rakyat," terangnya.
Tak kalah penting, Saifullah menekankan bahwa Kalondo Lopi bisa menetralisir zona merah rawan konflik di Bima. Melalui ritual ini, masyarakat terbukti bisa kompak dan riang gembira.
"Di sebuah desa yang nun jauh dari hiruk-pikuk demokrasi, zona merah Pilkada itu tidak terbukti. Semua riang gembira dan bercanda tawa," pungkasnya.
Advertisement