Sukses

HEADLINE: Eks Koruptor Dilarang Jadi Caleg, Jaminan DPR Bakal Bersih?

Pelarangan eks napi korupsi menjadi caleg oleh KPU menimbulkan polemik. Benarkah PKPU ini tak bisa diterapkan di Pileg 2019?

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik mengaku tak risau dengan munculnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang larangan mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPRD bagi mereka yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi. Dia bahkan yakin, PKPU tersebut sama sekali tidak menghalangi langkahnya menjadi caleg pada Pemilu 2019.

"Enggaklah menjegal. Saya sih tetap maju dong (sebagai caleg) tahun depan," tegas Taufik kepada Liputan6.com, Senin (2/7/2018).

Taufik yang merupakan mantan Ketua KPUD DKI itu pernah divonis selama 18 bulan penjara pada 27 April 2004 dalam kasus korupsi. Dia terbukti merugikan negara sebesar Rp 488 juta dalam pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004.

Namun, fakta itu diakuinya tak akan menjadi masalah karena untuk maju di Pemilu Legislatif 2019, dia tidak merujuk pada PKPU Nomor 20 Tahun 2018, melainkan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Ya kita ikutin undang-undang (Pemilu), kita taat aturan pada undang-undang, kita ikut undang-undang dong," tegas politikus Partai Gerindra itu.

Hanya saja, Taufik mengaku tak habis pikir dengan langkah KPU membuat larangan nyaleg yang bertentangan dengan peraturan yang di atasnya, yaitu UU Pemilu.

"Buat saya sih aneh saja. Kalau lembaga kayak (KPU) begitu bisa semau-maunya buat aturan tanpa mengindahkan UU, bagaimana nih?" kata Taufik.

Karena itu, dia yakin bahwa akan ada yang mengajukan uji materi terkait Pasal 7 PKPU tersebut ke Mahkamah Agung, meski dia sendiri belum berencana membawa pelarangan itu ke proses hukum.

"Saya belum sih (berencana menggugat). Tapi saya yakin itu melanggar undang-undang dan akan kalah (uji materi). Lembaga negara yang dibentuk oleh undang-undang masa langgar undang-undang. "Kalau kemudian sudah dibatalin Mahkamah Agung, masa tetap mau dijalanin (PKPU)," tegas Taufik.

Namun, penilaian Taufik dibantah Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang. Dia meragukan lembaga sekelas KPU akan membuat regulasi yang asal-asalan tanpa melihat dampak serta prosesnya.

"Coba tanya KPU ada dasarnya tidak membuat itu (PKPU)? Pasti ada. Kalau tidak ada, dasarnya hukum kepantasan, jadi harus progresif," ujar Saut kepada Liputan6.com, Senin (2/7/2018).

Bahkan, dia menyambut baik langkah KPU melarang eks napi korupsi karena dinilai telah membantu upaya KPK membangun pemerintahan yang berintegritas. Saut yakin, pemberantasan korupsi tak akan berhasil jika hanya dilakukan KPK, melainkan juga ditentukan oleh pilar-pilar lainnya seperti KPU.

"Hal itu sejalan dengan Roadmap KPK sampai tahun 2023 tentang membangun integritas nasional. Itulah sebabnya demokrasi dan pemberantasan korupsi memiliki jalan kerja yang berbeda, namun tujuannya sama. Intinya, KPK harus mendukungnya (PKPU)," tegas Saut.

Dia melanjutkan, upaya pemberantasan korupsi harus terus dilakukan tanpa henti dengan beragam cara. Meski di sisi lain dia mengakui hal itu tidak mudah karena menyangkut banyak hal, seperti perilaku masyarakat serta budaya malu yang mulai hilang.

"Anda berupaya saja tidak ada jaminan akan berhasil karena ada banyak variabel yang menentukan. Apalagi kalau Anda tidak berusaha, maka akan semakin panjang perjalanan kita melawan perilaku jahat itu," ujar Saut.

Namun, dia optimistis PKPU tentang larangan eks koruptor nyaleg akan didukung oleh partai politik. Alasannya, langkah pemberantasan korupsi akan makin ringan jika didukung partai politik.

"Bisa jadi mereka (partai politik) mendukung, tapi tidak all out, karena pintu korupsi itu banyak jenisnya. Jadi kita harus melakukan banyak cara, all out and total football. Semua sama-sama, kalau KPU dan KPK saja akan lama," pungkas Saut.

Hingga kini, dukungan parpol atas PKPU larangan eks koruptor nyaleg masih beragam. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, mendukung aturan tersebut. Bahkan, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, partainya tidak pernah mencalonkan caleg yang pernah menjadi napi kasus korupsi.

"Saya dengar KPK setuju, PKS setuju. Sejak dari awal PKS memang tidak pernah mencalonkan napi koruptor, tidak pernah. Jadi walaupun tidak ada aturan ini, PKS tidak akan mencalonkan mantan napi koruptor," kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/7/2018).

PKS, kata dia, mendukung PKPU larangan eks napi korupsi sebagai upaya pencegahan agar para wakil rakyat terpilih bebas dari korupsi.

"PKS sangat mendukung segala upaya untuk memberantas korupsi, termasuk dikeluarkannya PKPU sebagai tindakan preventif agar dari hulunya hingga hilir proses demokrasi kita disterilkan dari masalah korupsi," tegas Hidayat.

Dia berpendapat, jatah kursi wakil rakyat harusnya diberikan kepada mereka yang tidak pernah terlibat kasus korupsi. Sebab, masih banyak warga negara yang bersih untuk menjadi caleg.

"Kalau masalah mantan napi koruptor, baiknya diberikan kepada yang non-koruptor. Karena di Indonesia ini yang tidak pernah terjaring masalah korupsi masih berjuta kali lebih banyak daripada yang terkena korupsi," tegasnya.

"Kenapa kemudian harus ribet dengan mantan napi korutor yang jumlahnya sedikit. Sementara di sana yang bersih masih amat sangat banyak," pungkas Hidayat.

Namun, pertanyaannya sekarang, apakah PKPU tersebut sudah bisa dilaksanakan dan sah secara hukum?

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 3 halaman

Menanti Taji PKPU

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly memberikan keterangan yang belum pasti terkait keluarnya Peraturan KPU tentang pelarangan eks napi korupsi jadi calon anggota legislatif. Dia mengatakan, PKPU tersebut tak bisa berlaku lantaran tak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Kalau bertentangan dengan undang-undang (Pemilu) tidak bisa (berlaku)," kata Yasonna usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Senin (2/7/2018).

Di sisi lain, dia tak bisa menegaskan bahwa PKPU tersebut bertentangan dengan UU Pemilu. Dia beralasan akan melihat dan mempelajari dulu aturan yang diterapkan untuk Pemilu 2019 serta PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

"Aku belum lihat, aku belum lihat, nanti aku lihat dulu, kita lihat dulu suratnya," ujar Yasonna.

Keterangan yang lebih gamblang datang dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dia mengatakan, KPU memiliki wewenang untuk membuat aturan sendiri, termasuk dengan mengeluarkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018.

"Undang-undang memberi kewenangan kepada KPU untuk membuat peraturan. Peraturannya ini sudah dibuat KPU," ujar Jokowi di sela kunjungan kerjanya di Sulawesi Selatan, Senin (2/7/2018).

Menurut Presiden, jika ada pihak yang keberatan atas peraturan KPU tersebut, ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh, yakni melalui permohonan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

"Kalau tidak puas dengan peraturan yang ada, silakan ke MA. Gitu saja," tegas Jokowi.

Hal senada diungkapkan peneliti hukum dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil. Dia menilai, lembaga yang berwenang menilai apakah PKPU itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak adalah MA.

"Dan menurut kami PKPU itu tak bertentangan dengan UU, karena KPU mengatur lebih detail dan standar soal syarat calon DPR serta menyeimbangkannya dengan syarat calon presiden dan syarat calon DPD," jelas Fadli kepada Liputan6.com, Senin (2/7/2018) petang.

Selain itu, lanjut dia, PKPU tersebut sudah bisa dilaksanakan tanpa harus menunggu pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

"Karena peraturan itu mulai berlaku sejak ditetapkan. Dan KPU sudah menetapkan aturan itu sejak kemarin, 1 Juli 2018. Artinya, aturan itu berlaku secara erga omnes atau tanpa kecuali," tegas Fadli.

Menyoal tentang kemungkinan parpol akan menolak PKPU, dia menampiknya. Dia beralasan, kalau itu dilakukan berarti parpol tidak pro pada pemberantasan korupsi. Apalagi alasan parpol menolak PKPU bukan soal substansinya, melainkan karena regulasi tersebut dimuat di aturan KPU.

"Kalau soal kenapa diatur di PKPU, justru itu tepatnya ditanyakan ke parpol dan pemerintah. Kan mereka yang bikin undang-undang, kenapa enggak diatur waktu menyusun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) kemarin?" tanya Fadli.

Namun, dia menambahkan, tak ada yang bisa menjamin bahwa praktik korupsi di lembaga legislatif akan habis jika PKPU ini diberlakukan. Dia beralasan, korupsi itu merupakan kejahatan terhadap jabatan dan kewenangan.

"Korupsi itu bisa saja karena sistem, kebutuhan, atau karena memang tamak. PKPU ini hendak menyelamatkan pemilih dari orang seperti ini, yang sudah pernah mengkhianati jabatan. Kalau wakil rakyat akan bebas korupsi, tak ada yang bisa jamin itu," pungkas Fadli.

Keterangan lebih lugas dan sederhana datang dari Komisioner KPK Basaria Panjaitan. Dia mengatakan, pelarangan eks napi korupsi nyaleg harusnya dianggap sebagai hal yang biasa.

"Jangankan mau jadi caleg. Kita mau melamar kerjaan saja ada Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Tujuannya untuk apa? Apakah orang ini pernah melakukan pidana? Kalau pernah melakukan pidana pasti tidak terpilih," jelas Basaria di gedung KPK, Senin (2/7/2018) malam.

Jadi, lanjut dia, sebenarnya persyaratan itu sudah umum dilakukan dan punya tujuan yang jelas. Bahkan, tidak hanya untuk kasus korupsi, melakukan kejahatan yang lebih kecil pun seseorang bisa terhambat kariernya.

"Siapa pun yang sudah melakukan tindak pidana idealnya enggak usah lagi ikut nyaleg, karena dia akan jadi perwakilan masyarakat," tegas Basaria.

Karena itu dia berharap mereka yang akan jadi wakil rakyat berasal dari orang-orang terbaik di antara yang baik. Dia mengaku sulit menerima jika seseorang yang mewakili rakyat pernah melakukan tindak pidana.

"Jadi, untuk apa capek-capek bikin SKCK ke kepolisian kalau toh nggak ada artinya. Jadi prinsipnya kita mendukung (PKPU). Jangankan untuk kasus korupsi, siapa pun yang sudah melakukan pidana sebaiknya tidak menjadi wakil rakyat," pungkas Basaria.

Jadi, lembaga wakil rakyat akan bersih dari mantan koruptor usai Pileg 2019? Publik masih harus menunggu hingga KPU mengumumkan penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dan DPRD pada 20 September 2018.

3 dari 3 halaman

Tidak Hanya Eks Koruptor

Pemilu yang baru akan digelar tahun depan sudah mulai panas. Salah satu penyebabnya adalah regulasi yang dilahirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhir Juni lalu atau tak lebih dari sepekan sebelum pendaftaran calon anggota legislatif dibuka mulai 4 Juli besok.

Regulasi itu adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Ditetapkan di Jakarta pada 30 Juni 2018 oleh Ketua KPU Arief Budiman, Peraturan KPU ini memiliki 7 Bab dan 45 Pasal. Namun, yang menjadi pusaran polemik banyak pihak hanya satu pasal, yaitu Pasal 7 tentang Persyaratan Bakal Calon, khususnya ayat (1) huruf g dan h.

Pasal 7 ayat (1) berbunyi: Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

h. bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi;

Kemudian, Pasal 7 ayat (4) berbunyi: Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, dikecualikan bagi:

a. mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, dan secara kumulatif bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup; dan

b. terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis) atau terpidana karena alasan politik yang tidak menjalani pidana dalam penjara, dan secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik.

Dari uraian pasal tersebut diketahui bahwa yang dilarang KPU untuk menjadi caleg tak hanya mantan narapidana korupsi, melainkan juga berlaku untuk eks narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.

Namun, ketentuan itu dianggap bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU Pemilu, sama sekali tak ada larangan bagi mantan terpidana kasus apa pun untuk bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Pasal 240 tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsidan DPRD Kabupaten/Kota huruf g menyebutkan:

"Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancamdengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana"

Katentuan tersebut sebenarnya juga dimuat di PKPU, namun khusus untuk mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual anak, hal tersebut tidak berlaku.

Publik tentu masih harus menunggu, apakah ketentuan ini akan berlaku segera atau menunggu kepastian dari Mahkamah Agung melalui uji materi, jika nantinya ada pihak-pihak yang keberatan dengan regulasi tersebut.

Â