Sukses

KIPP: Persepsi Penegakan Hukum Terpadu Pemilu 2019 Harus Disamakan

Ketika melibatkan polisi dan jaksa sebagai penyidik dugaan pelanggaran Pemilu, ternyata kesimpulannya berbeda dengan Bawaslu.

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (Sekjen KIPP) Kaka Suminta mengatakan, perlu adanya penyamaan persepsi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian RI, dan Kejaksaan dalam penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) penanganan kasus-kasus pelanggaran pidana Pemilu.

Kaka mengatakan, hal itu menanggapi penghentian kasus dugaan pelanggaran Pemilu kampanye di media massa di luar jadwal dengan perbedaan kesimpulan antara Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian.

"Artinya, di tataran Gakkumdu masalahnya, yakni ketika melibatkan polisi dan jaksa sebagai penyidik dugaan pelanggaran Pemilu, ternyata kesimpulannya berbeda dengan Bawaslu," ujar Kaka, seperti dilansir Antara, Kamis (8/11/2018).

Maka, lanjut dia, masalahnya persepsi unsur-unsur di Gakkumdu.

"Sepintas kita yakin bahwa ada unsur pelanggaran karena masih bisa gunakan UU. Jangan karena kekosongan Peraturan KPU lalu menegasi fakta yang sudah jelas," ucap Kaka.

Pada kasus tersebut, Bawaslu mendapati pemasangan kampanye iklan di media cetak oleh tim kampanye pasangan capres-cawapres nomor 01 Jokowi-Ma'ruf Amin di luar jadwal.

"Namun, aparat kepolisian dan kejaksaan menyatakan hingga saat ini belum ada ketetapan KPU yang menyatakan jadwal kampanye di media sesuai Pasal 492 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, sehingga penerapannya belum bisa dipenuhi," kata Kaka.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Waktu Kampanye

Kampanye di media massa sesuai dengan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu Pasal 276 dilaksanakan 21 hari sebelum masa tenang, yakni mulai 24 Maret hingga 13 April 2019.

Pasal 492 menyatakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU (Kabupaten/Kota) untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).